BPJS Kesehatan

Kastara.id, Jakarta – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meminta Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan untuk membatalkan tiga peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes) yang dinilai akan merugikan masyarakat karena menurunkan mutu pelayanan yang berkualitas.

Menurut Ketua Umum PB IDI Ilham Oetama Marsis dalam kesempatan jumpa pers di kantornya di Jakarta (2/8), pihaknya meminta BPJS Kesehatan membatalkan Perdirjampelkes Nomor 2, 3, 5 tahun 2018 untuk direvisi sesuai dengan kewenangan BPJS Kesehatan yang hanya teknis pembayaran dan tidak memasuki ranah medis.

Dijelaskan Ilham, peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2, 3, dan 5 Tahun 2018 tersebut dikhawatirkan akan membuat pelayanan kesehatan tak optimal, terutama untuk penyakit katarak, persalinan bayi lahir sehat, serta rehabilitasi medik.

Padahal, lanjutnya, semua penyakit seharusnya ditanggung oleh BPJS Kesehatan, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Pasal 22 dan 25.

Ilham pun menuturkan, kebutaan katarak di Indonesia menjadi salah satu penyakit yang tertinggi di dunia. Ia juga menilai bahwa kuota pelayanan katarak dalam Perdirjampelkes Nomor 2 Tahun 2018 ditengarai dapat meningkatkan angka kebutaan tersebut.

Perdirjampelkes Nomor 3 Tahun 2018 juga dianggap dapat membuat pelayanan persalinan tidak optimal. Ilham menilai, semua persalinan harus mendapatkan penanganan yang optimal. “Karena bayi baru lahir berisiko tinggi mengalami sakit, cacat, bahkan kematian,” paparnya.

Menurut Ilham, Perdirjampelkes Nomor 5 Tahun 2018 tak sesuai dengan standar pelayanan rehabilitasi medik. Dalam aturan tersebut, BPJS Kesehatan dinilai hanya menjamin pelayanan rehabilitasi medik dua kali sepekan. Kebijakan tersebut dapat berakibat pada hasil terapi yang tak optimal. “Kondisi disabilitas menjadi sulit teratasi,” tambahnya.

Di sisi lain, Ilham menilai ketiga aturan tersebut juga akan merugikan dokter. Menurutnya, dokter berpotensi akan melanggar sumpah dan kode etik yang didorong oleh praktik kedokteran yang menjadi tak sesuai dengan standar profesi.

Kewenangan dokter dalam mengambil tindakan medis juga rawan diintervensi dan direduksi oleh BPJS Kesehatan. Ketiga beleid itu juga dinilainya akan meningkatkan konflik antara dokter dengan pasien dan fasilitas kesehatan. “Meningkatkan potensi gugatan dan tuntutan terhadap dokter,” jelas Ilham.

Selain masyarakat yang akan dirugikan, Ilham menilai ketiga aturan tersebut juga berpotensi melanggar UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Pasal 24 dan Permenkes Nomor 76 Tahun 2016. Pasalnya, terang Ilham, ketiga aturan itu tak mengacu pada Perpres 19 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan.

Ilham mengakui kalau ketiga aturan tersebut dibuat untuk efisiensi BPJS Kesehatan. Namun menurutnya hal itu seyogyanya tak mengorbankan mutu pelayanan dan membahayakan pelayanan kesehatan.

Pihak IDI pun mendorong Kementerian Kesehatan memperbaiki regulasi tentang penjaminan dan pengaturan skema pembiayaan. “IDI mendorong terbitnya Perpres tentang iuran atau urun bayar sesuai UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang SJSN,” tambah Ilham.

Sementara BPJS Kesehatan sendiri telah memastikan sebelumnya bahwa pelayanan kesehatan untuk katarak, rehabilitasi medik, dan bayi baru lahir sehat tetap dijamin walau ketiga Perdirjampelkes terbit. Hal itu dijelaskan Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohammad Arief bahwa tiga aturan tersebut hanya untuk memperjelas tata cara agar manfaat pelayanan lebih efektif dan efisien.

Menurut Budi, ketiadaan tiga aturan tersebut justru akan membuat BPJS membiarkan terjadinya inefisiensi. Regulasi tersebut juga dipastikan diterbitkan dengan memperhatikan kemampuan keuangan BPJS Kesehatan saat ini. Budi juga memperkirakan bahwa ketiga aturan ini mampu menghemat sekitar Rp 360 miliar. (man)