Seminar Virtual

Kastara.ID, Jakarta – Adanya gejala beragama secara instan dan simbolik, perlu disikapi dengan penguatan literasi keagamaan, edukasi publik, dan membawakan ajaran agama secara diskursif dan mencerahkan.

“Semua umat beragama perlu membuka diri terhadap perubahan (open minded), berdamai atau adaptif dengan kondisi disruptif ini, sehingga mampu melakukan sikap terbaik dalam menghadapinya,” ujar Menag Fachrul Razi saat membuka secara virtual International Symposium on Religious Life (ISRL) 2020 yang diselenggarakan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama di Bogor, Selasa (3/11).

Sebelumnya, Menag menyampaikan, dunia kini sedang berubah drastis, terutama disebabkan pandemi covid-19 yang menerpa semua negara di seluruh pelosok dunia. Menurutnya, perubahan revolusioner dunia saat ini juga tidak semata terkait adanya virus yang tidak tampak itu.

‘Dunia memang tengah mengalami disrupsi di berbagai bidang sebagai keharusan sejarah atau sunnatullah. Pada mulanya melanda dunia bisnis, sejak awal 2018, disrupsi mulai mempengaruhi perilaku komunikasi masyarakat hingga cara beragama umat,” kata Menag.

Menag menandaskan, disrupsi juga berdampak pada cara pandang dan sikap beragama kita. Kehidupan manusia yang serba mudah dan instan dengan teknologi digital, dapat menyebabkan terjadinya deprivatisasi keberagamaan.

“Ajaran agama yang pada mulanya diajarkan pihak-pihak yang otoritatif kini menjadi terbuka. Siapa saja merasa berhak menafsir agama dengan bantuan mesin pencari meski dengan ilmu yang terbatas dan parsial,” ujarnya.

Ia menjelaskan, dinamika tersebut perlu disikapi dengan arif. Sikap ekstrim dalam beragama, misalnya, perlu kita sikapi dengan moderasi beragama. Penting dicatat, tandas Menag, yang dimoderasi adalah cara beragamanya bukan agamanya itu sendiri. “Karena agama sejatinya sudah moderat, selalu mengajarkan nilai-nilai keseimbangan dan jalan-tengah (middle way),’ ujar Menag.

Menag berharap, melalui simposium internasional ini dapat didiskusikan berbagai fenomena kehidupan keagamaan di era disrupsi tersebut. “Juga, ini yang penting, agar dapat mengontribusikan berbagai pemikiran dan strategi, untuk bahan kebijakan keagamaan, secara praktikal, dan lebih jauh, untuk menjaga martabat dan peradaban manusia pada umumnya,’ tutupnya.

Simposium menghadirkan pembicara dari 12 negara (Indonesia, Australia, Singapura, Vietnam, Thailand, Malaysia, Iran, Pakistan, Bulgaria, Belanda, Swiss, dan Amerika Serikat), di antaranya James J. Fox yang tampil menjadi Keynote Speech, Robert W. Hefner, Aria Nakissa, Syed Farid Alatas, dan Azyumardi Azra. Juga dihadiri baik secara luring maupun daring oleh kurang lebih 700 peserta, dari dalam dan luar negeri. (put)