Jamiluddin-Ritonga

Kastara.ID, Jakarta – Keinginan segelintir kader dan mantan kader untuk mengganti Ketua Umum Partai Demokrat melalui Kongres Luar Biasa (KLB) masih mengemuka di media. Para dalangnya ingin mengangkat Moeldoko menjadi Ketua Umum menggantikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Demikian diungkapkan Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jakarta M Jamiluddin Ritonga dalam pernyataannya kepada redaksi Kastara.ID di Jakarta, Kamis (4/2).

“Para dalang yakin, Moeldoko akan mampu mengerek popularitas dan elektabilitas Partai Demokrat menjadi partai dengan peringkat suara kedua terbanyak di parlemen. Caranya dengan menggunakan Bintara Pembina Desa (Babinsa),” ungkap pria yang kerap disapa Jamil ini.

Keyakinan para dalang tersebut tentu kontra logika. Sebab, selama ini popularitas Moeldoko selalu lebih rendah daripada AHY.

“Elektabiltas Moeldoko juga selalu di bawah AHY. Bahkan dari beberapa survei yang dilakukan lembaga survei, elektabilitas Moeldoko kerap tidak muncul. Kalau pun pernah muncul, elektabilitasnya hanya di bawah 1 persen,” tandas pengajar Isu dan Krisis Manajemen ini.

Dengan popularitas dan elektabilitas Moeldoko seperti itu, lanjut Jamil, tentu tidak masuk akal kalau yang bersangkutan akan mampu mengangkat elektabilitas Partai Demokrat pada peringkat dua pada Pileg 2024.

“Berbeda halnya dengan AHY, meskipun hanya berpangkat mayor, namun elektabiltas Partai Demokrat sejak dipimpinnya terus menanjak. Bahkan hasil survei terakhir menunjukkan, elektabilitas partai demokrat sudah meroket pada peringkat tiga,” ungkap Jamil.

Jadi, meskipun ada pihak-pihak yang memandang sebelah mata, namun AHY terus bekerja untuk membenahi partai. Bahkan, tandas Jamil, AHY rajin menemui anggota masyarakat di berbagai daerah.

“Kebijakan partai yang dikeluarkan AHY juga sangat pro rakyat. Seperti Program Bina UMKM, antara lain Program WIFI Gratis, serta Program Demokrat Peduli dan Berbagi. Semua program ini diluncurkan untuk membantu masyarakat terdampak pandemi Covid-19 dan masyarakat yang terkena bencana,” papar penulis buku Tipologi Pesan Persuasif ini.

Jamil pun menyebutkan bahwa para dalang tampak salah pilih orang kalau targetnya untuk meningkatkan elektabilitas Partai Demokrat. Kiranya kasus ini dapat menjadi pelajaran bagi siapa saja yang ingin menguasai partai orang.

“Tentu cara-cara demikian sudah tidak populer di era demokrasi. Upaya seperti itu harus dilawan, karena sangat merusak demokrasi yang sudah diperjuangkan sejak 1998,” pungkas mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996-1999 ini. (jie)