Kastara.ID Madinah – Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) kembali mengimbau masyarakat agar mencermati visa yang akan mereka gunakan ketika memutuskan untuk berhaji melalui biro travel.

“Kami mengimbau kepada masyarakat khususnya warga negara Indonesia (WNI) yang ingin beribadah haji, manakala mendapatkan tawaran dari biro travel-travel hendaklah cermati betul jenis visa yang akan digunakan,” ujar Kepala Daerah Kerja Madinah Akhmad Jauhari, Selasa (3/9).

Jauhari mengatakan jika seandainya para jemaah haji menggunakan visa non haji maka akan berimplikasi pada segi keamanan selama mereka berada di Arab Saudi.

“Implikasinya keamanannya kurang terjamin, kepastian melaksanakan ibadah haji tidak ada, karena sesungguhnya jemaah kaum muslimin yang bisa masuk ke area Arafah hanya yang memiliki visa haji,” tuturnya.

ia mengatakan bahwa warga negara Arab Saudi sendiri pun, jika hendak berhaji harus mengurus tashrih haji. Sedangkan ketentuan untuk warga asing harus menggunakan visa haji.

“Apabila masuk ke Saudi dengan visa non haji, tingkat kepastian untuk masuk ke wilayah Arafah sangat kecil, sementara haji itu puncaknya di Arafah,” tegasnya.

Menurut Jauhari, selain menggunakan visa haji, warga negara asing yang hendak berhaji juga menggunakan visa non haji. Salah satunya mereka yang berhaji atas undangan pemerintah Arab Saudi. Mereka akan memperoleh visa yang diberikan oleh pemerintah Arab Saudi melalui Kedutaan Besar di Jakarta yang biasanya disebut visa mujamalah.

“Secara data tidak ada di Kementerian Agama, namun kalau kita merujuk pada Undang-undang No.8 Tahun 2019 memang diatur bahwa bagi warga negara yang akan melaksanakan ibadah haji dengan visa mujamalah maka keberangkatannya harus melalui biro travel yang berijin haji yaitu Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK),” kata Jauhari.

Ia mengatakan, ketentuan ini dibuat pemerintah dalam kerangka perlindungan jemaah itu sendiri, meski secara tugas dan fungsi jemaah tidak berada dalam Kemenag tapi perlindungan ini menjadi domain perwakilan RI di Arab Saudi.

Jauhari mengatakan bahwa pada musim haji tahun 1440 H, tercatat tidak kurang dari 3.000 jemaah haji indonesia yang menggunakan visa mumajalah yang telah diberangkatkan oleh PIHK.

Ia menambahkan bahwa ada visa non haji yang tidak seharusnya dilakukan warga negara Indonesia ketika hendak berhaji, yaitu menggunakan visa ziarah dan visa amil (pekerja).

Terkait hal ini, Kepala Seksi Pengawasan Penyelenggara Haji Khusus (PIHK) Ali Machzumi mengatakan dengan tegas bahwa visa ziarah dan visa amil untuk berhaji dilarang, baik oleh pemerintah Saudi maupun Indonesia.

“Beberapa temuan di lapangan jemaah haji dengan visa mujamalah/furoda yang diselenggarakan oleh Non PIHK data jemaahnya tidak dilaporkan dan ada temuan jemaah dengan visa furoda yang di selenggarakan oleh Non PIHK ini tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kontrak yang disepakati,” ujar Ali.

Ia memaparkan beberapa resiko bagi jemaah yang menggunakan visa ziarah atau amil adalah gagal berangkat, deportasi, tidak dapat beribadah dengan aman dan nyaman, tertangkap pihak berwenang di Arab Saudi, menghadapi kendala dokumen administrasi kepulangan serta kerugian material yang tidak sedikit.

“Terkait dengan permasalahan ini, Kemenag akan melakukan penelusuran kepada pihak-pihak yang membawa jemaah tersebut atau yang menyalahgunakan visa ziarah dan amil untuk haji,” pungkasnya. (put)