Kastara.ID, Yogyakarta – Sebagai usaha yang bergerak dalam bidang industri kreatif yakni pembuatan barang-barang seni dan seni kerajinan ini, perusahaan lahir diinisiasi oleh Timboel Raharjo lewat karya-karya seni dan kerajinan yang artistik dan inovatif sehingga berkembang dengan produk seni yang dieskpor ke mancanegara. Walau sibuk dengan usahanya, hingga kini Timboel masih tetap mengajar di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.

PT Timboel awalnya lahir sebagai perusahaan pribadi bernama “Timboel Keramik” pada tahun 1995. Hingga akhirnya pada tahun 2008 berubah menjadi PT Timboel.

PT Timboel ini dikenal lewat produksi seni kerajinan berbahan keramik, kayu, logam, dan lain sebagainya. Berlokasi di Desa Wisata Kasongan, Ds. Tirto RT 06 Kasongan, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul. Dengan memiliki areal produksi seluas 10.000 meter persegi, dan 3500 meter persegi sarana display berupa galeri untuk penjualan produknya, serta memiliki puluhan tenaga kerja.

PT Timboel memiliki sistem manajemen perusahaan yang terbilang baik dengan kreasi desain terbaru sesuai perkembangan tren dunia lewat eksplorasi kreativitas dalam membuat desain produk, produksi, dan pemasaran. Juga quality control proses produksi dengan sistem produktivitas yang baik, menentukan kualitas produk, dan ketepatan waktu pengiriman.

Pangsa pasar produknya juga tergantung pada kreativitas ekspansi pasar dan menyesuaikan dengan inovasi produknya. Sedangkan pangsa ekspor di antaranya sudah merambah Eropa, Australia, Amerika, Korea, dan negara-negara di kawasan Amerika Selatan.

Sebenarnya bagi PT Timboel bukan soal market nasional atau internasional. Tapi memang market-nya sudah terbentuk dari awal karena memang tinggalnya di Desa Wisata Kasongan yang sudah jadi pasar internasional. Dari awal Desa Kasongan memang sudah dikenal sebagai desa sentra ekspor kerajinan.

“Kebetulan suami saya lahir dan asli dari Desa Kasongan sini. Jadi kami mengolah yang ada, jualan awalnya memang gerabah seperti yang lain. Cuma karena basic-nya Pak Timboel dari akademisi (lulus dari ISI), akhirnya desainnya berbeda dari yang lain,” ungkap Ani Faikoh, istri Timboel Raharjo.

Ani Faikoh. (Ist)

Menurut Ani, sebenarnya basic-nya kriya logam karena kesukaan Timboel dengan mesin-mesin logam yang berhubungan dengan patung-patung. Tapi material yang tersedia di Kasongan itu tanah liat yang juga sedang booming.

“Itu juga tak kekurangan skill di sana.
Walau materialnya yang dipakai ada banyak kayu juga, tapi lebih dikombinasi logam juga. Bahkan ada beberapa model yang sudah dibuat hak ciptanya, tapi sejujurnya hanya gertakan saja. Tapi dunia seni seperti ini, soal tiru meniru itu lebih sopannya banyak cari inspirasi dan itu sangat normal-normal saja. Untuk beberapa item sebagai key product, PT Timboel sudah pasti membuat hak ciptanya,” tandasnya.

Namun yang namanya pasar, ya pastinya harus mengikuti tren pasar. Bahkan produk dari Kasongan pada 2012 pernah mengalami penurunan produksi dan sempat hampir mati. Ibarat hidup, rodanya terus berputar. Kayu dan logam pun mengambil alih posisinya. Tanah liat juga sudah berganti semen dan fiber.

“Jadi memang melihat pengembangan UMKM, Pak Timboel tidak pernah membatasi bahan tertentu yang lokal semuanya. Khusus bahan stainless diimpor karena logamnya lagi tinggi permintaannya,” jelasnya.

Sedangkan menurut Tirto Raharjo, putra pertama Timboel dan Ani, perkembangan dengan sistem cetakan juga volumenya banyak. Sehingga dari sisi positifnya jadi lebih kreatif mengembangkan teknik penciptaan logam, termasuk soal hak ciptanya.

“Sejauh ini, logam yang kita kembangkan 10 tahun terakhir belum ada yang mengkopi. Kita juga menyampaikan bahwa produk logam yang dibuat ada Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)-nya,” tuturnya.

Tirto Raharjo..
Tirto Raharjo. (Ist)

Kini, pasar produk PT Timboel sudah merambah hingga Eropa, Amerika, dan Timteng. Bahkan dalam tiga tahun terakhir ada permintaan dari Jakarta seperti beberapa hotel dan juga individu (end user) juga sudah mulai banyak.

Disebutkannya, ada beberapa kolektor seperti pengusaha yang langsung memesan. Soal harga, yang paling murah mulai dari Rp 8,7 juta hingga Rp 600 juta.

“Ada biaya tambahan untuk developing khusus mengingat ada hak ciptanya bagi konsumen. Selain itu ada teknik reproduksi yang sudah dikuasai. Kecuali limited edition (masterpiece). Ada juga yang direproduksi,” jelasnya.

Untuk pasar dalam negeri, buyer berupa company dan individual PT Timboel lebih banyak datang dari Jakarta, Surabaya, dan Semarang.

Selain itu, PT Timboel juga selalu mengikuti berbagai pameran di dalam dan luar negeri seperti Pameran Indonesia International Furniture Expo (IFEX). Juga ikut berbagai pameran di Singapura, China, dan sebagainya.

Buyer sebenarnya sama dan pameran di Jakarta efektif juga. Bahkan kami juga sempat juga mengikuti pameran uang disponsori pemerintah. Bahkan dari buyer juga sudah regenerasi dan lebih nyaman dengan reseller-reseller kecil. Juga lebih hati-hati. Porsi buyer-nya kini 80 persen internasional dan 20 nasional,” jelas Ani.

Terkait Bank BNI, disebutkannya juga sudah lama sebagai mitra PT Timboel. “Lebih nyaman karena bank pemerintah juga. Kalau sudah ada trust dalam kerja sama, keberlanjutannya jadi lebih mudah, terutama di saat era kesulitan. Selama ini sudah bekerja sama lebih kepada tukar informasi selain dari sisi finansial. Lebih ke sharing,” pungkas Ani. (dwi)