Kastara.id, Jakarta – Pemerintah Indonesia sejauh ini dinilai belum berpihak kepada profesi perawat. Padahal, profesi perawat sudah mempunyai UU sendiri yang mengatur sistem keperawatan Indonesia, yakni UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Namun pemerintah seakan tidak peduli dengan adanya UU tersebut.

Wakil Ketua Komite III Abdul Aziz berjanji akan terus mengawal dan perjuangkan nasib para perawat. Lebih kongkritnya, DPD menargetkan tahun ini agar mutu dan kesejahteraan perawat lebih baik lagi. “Kita akan perjuangkan ini. Mudah-mudahan tahun ini bisa tercapai,” katanya saat RDPU dengan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), di Jakarta, Selasa (5/9).

Senator asal Sumatera Selatan itu menilai memang pemerintah terkesan lalai dengan profesi perawat. Ke depan, DPD RI akan minta penjelasan kepada pemerintah, khususnya Menteri Kesehatan. “Kita dalam waktu dekat ini akan RDP dengan Menkes. Kita akan perjuangkan ini,” ujarnya.

Senada dengan Abdul Aziz, Anggota Komite III DPD Stefanus Ban Liow mengatakan bahwa profesi perawat harus lebih baik dari sebelumnya. Selama ini pemerintah berkesan kurang serius terhadap profesi ini. “Memang kita harus menanyakan langsung kepada menteri terkait,” katanya.

Sementara itu Ketua PPNI Harif Fadhillah mengatakan bahwa UU No. 38 Tahun 2014 sejatinya milik rakyat Indonesia. Sayangnya, pemerintah terkesan mengabaikan lahirnya UU ini. “Untuk membentuk kebijakan saja, UU ini tidak pernah disentuh oleh pemerintah. Faktanya UU ini hanya miliki perawat sehingga sistem di lapangan tidak dilihat oleh pemerintah,” ujar Harif.

Secara umum, lanjutnya, sejauh ini sosialisasi pemerintah sangat kurang. Bahkan hanya PPNI yang aktif sampai tingkat komisariat. “Setelah UU ini lahir, pemerintah hanya dua kali turun untuk sosialisasi. Bahkan, stakeholder di lapangan tidak tahu adanya UU ini,” kata Harif.

Harif menambahkan bahwa lebih ironisnya pemerintah sering tidak menjadikan UU tersebut pertimbangan dalam berbagai peraturan perundangan bidang kesehatan atau ketenagakerjaan. “Pemerintah lebih sering menggunakan UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Jelas-jelas normanya berbeda,” ujarnya. (dwi)