Pertalite

Kastara.ID, Jakarta – Cara Presiden Joko Widodo menaikkan harga BBM dengan tiba-tiba memang patut disesalkan. Apalagi keputusan menaikkan harga BBM belum dibicarakan dengan DPR RI.

Menurut Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta M Jamiluddin Ritonga, dalam negara demokrasi, pengambilan keputusan yang berkaitan hajat hidup orang banyak (strategis) selayaknya dibicarakan dulu dengan legislatif. Eksekutif menanyakan kepada wakil rakyat layak tidaknya suatu kebijakan diambil.

“Dalam hal kenaikan BBM, eksekutif sama sekali tidak membicarakannya dengan DPR RI. Bahkan Ketua DPR RI Puan Maharani berulang kali mengatakan di media massa bahwa usulan kenaikan BBM dari pemerintah belum masuk ke DPR RI,” jelas Jamil kepada Kastara.ID, .

Jadi, pemerintah tampaknya tidak membicarakan kenaikan harga BBM dengan DPR RI. Pemerintah secara sepihak memutuskan sendiri besaran kenaikan harga BBM.

“Seharusnya DPR RI secara kelembagaan protes terhadap pemerintah karena tidak dilibatkan dalam menaikkan harga BBM. Bahkan selayaknya DPR RI meminta pemerintah untuk membatalkan kenaikan harga BBM,” ungkap Jamil yang juga mantan Dekan Fikom IISIP Jakarta ini.

Namun hal itu tidak dilakukan DPR RI. Beberapa fraksi justru terkesan memahami kebijakan yang diambil pemerintah.

Hal itu terjadi karena DPR RI dikuasai partai pendukung pemerintah. Partai Demokrat dan PKS yang menentang kenaikan harga BBM terkesan tidak dianggap oleh partai pendukung pemerintah.

“Akibat pemerintah terkesan semena-mena menaikkan harga BBM. DPR RI sebagai wakil rakyat terkesan sudah tidak dianggap keberadaannya,” tandasnya.

Jadi, dengan lemahnya DPR RI, maka Jokowi merasa tidak masalah kapan saja menaikkan harga BBM. “Baginya, kalau harga BBM memang harus naik, ya dinaikkan saja. Toh ia yakin DPR RI akan memakluminya,” pungkasnya. (dwi)