Vaksin COVID-19

Kastara.ID, Jakarta – Arief Poyuono menyebut Anies Baswedan dan Sandiaga Uno tidak bisa jadi presiden karena bukan dari suku Jawa. Orang Jawa, katanya, akan memilih pemimpin yang berasal dari suku mereka.

Pernyataan tersebut mengundang polemik berbagai pihak. Bahkan Pengamat  Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta M Jamiluddin Ritonga ikut mengomentari sikap Arief Poyuono.

“Pernyataan Arief Poyuono itu mengarah etnosentrisme. Negeri multietnik ini dinilainya hanya akan dipimpin oleh suku Jawa. Suku lain seolah tertutup untuk terpilih menjadi presiden,” ungkap Jamiluddin kepada Kastara.ID di Jakarta, Senin (6/12) pagi.

Sikap etnosentrisme tersebut disebutnya membahayakan perkembangan demokrasi di Indonesia. Sebab, sikap etnosentrisme itu pada umumnya berkembang di negara totaliter.

“Hal itu sudah dipraktikkan Adolf Hitler saat memimpin Jerman. Hitler melalui NAZI terus menerus mengagungkan rakyat Jerman sebagai bagian dari Ras Arya,” papar pengamat yang kerap disapa Jamil ini.

NAZI menilai Ras Arya ras paling unggul, karena itu paling berhak memimpin dunia. Ras lain hanya pecundang, karenanya sah untuk dipimpin dan dikuasai.

Jamil juga menyoroti bahwa sikap seperti itu tentu sangat tidak cocok di negara demokrasi. Sebab, mereka akan terus berupaya mendominasi dengan tidak memberi ruang bagi suku lain untuk memimpin.

“Indonesia yang dihuni multietnis, tentu sikap etnosentrisme dapat mengganggu NKRI. Suku lain akan merasa tertutup untuk menjadi presiden. Hal itu dapat membuat frustrasi suku lain,” ungkap Jamil yang juga penulis buku Riset Kehumasan ini.

Selain itu, Arief Poyuono juga terlalu menggeneralisir orang Jawa. Semua orang Jawa seolah sudah pasti akan memilih sukunya.

‘Generalisasi seperti itu tentu sangat menyesatkan. Sebab, kalau pola pikir itu yang digunakan, maka semua orang Jawa seolah tipe pemilih emosional,” jelas Jamil.

Padahal, realitas politiknya banyak orang Jawa yang termasuk pemilih rasional. Pemilih seperti ini memilih capres bukan karena satu suku atau satu agama, tapi lebih karena dinilainya paling layak dibandingkan capres lainnya.

“Pada umumnya, semakin terdidik pemilih akan semakin rasional dalam memilih capres. Kecenderungan ini yang terus terjadi di Indonesia, di mana pemilih terbesar saat ini adalah kalangan muda. Mereka ini pada umumnya sudah terdidik,” tandas Jamil yang juga mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta ini.

Jadi, sinyalemen Arief Poyuono orang Jawa akan memilih dari sukunya tampaknya akan terbantahkan pada Pilpres 2024. “Kecenderungan ini akan terlihat pada pemilih yang terdidik dan masuk tipe pemilih rasional,” pungkasnya. (dwi)