Oleh: Muhammad AS Hikam

Wacana ‘petugas partai’ yang telah sempat tenggelam beberapa waktu lamanya, kini dimunculkan kembali oleh mantan Presiden RI ke-5, Megawati Sukarnoputri. Beliau menyatakan bahwa “kader yang menjabat di partai dan pemerintah adalah petugas partai. Termasuk Megawati sendiri.” Konsekuensinya, Presiden Jokowi, yang pencapresannya diusung oleh PDIP, adalah juga seorang petugas partai. Hal ini disebabkan karena para kader yang menjadi pejabat negara juga mesti tunduk kepada AD/ART partai, dan khususnya amanat Kongres PDIP yang menyebut mereka sebagai petugas partai.

Saya pernah menulis status untuk merespon pernyataan Puan Maharani yang juga menyatakan bahwa Presiden Jokowi adalah petugas partai. Saya mengatakan bahwa ketika Presiden Jokowi masih berstatus sebagai capres, bisa saja beliau posisinya sebagai petugas partai. Tetapi begitu Presiden Jokowi menjabat sebagai RI-1, status petugas partai sudah tidak berlaku lagi secara legal konstitusional dan etika dalam ketatanegaraan. Posisi Presiden mengatasi partai politik, karena kedudukannya sebagai Kepala Pemerintahan.

Bisa saja parpol pengusung masih merasa memiliki hak untuk memerintah sang kader, tetapi jika hal itu diterapkan dalam praktik kenegaraan akan bertabrakan dengan konstitusi. Jika seorang Presiden dianggap petugas partai, maka akan timbul pertanyaan-pertanyaan seperti apakah AD/ART parpol peringkatnya berada di atas konstitusi? Apakah seorang Presiden harus mengutamakan tugas yang diberikan oleh partai atau oleh negara?

Bukan tidak mungkin bahwa pada suatu ketika sebagian kepentingan partai berlawanan dengan kepentingan pemerintah dan/atau negara. Dalam situasi demikian, seorang petugas partai tentunya punya kewajiban mengutamakan kepentingan partai. Tetapi seorang Presiden harus mengutamakan kepentingan pemerintah dan/atau negara.

Kalau Megawati mengatakan bahwa beliaupun, yang notabene pernah jadi Presiden, juga menganggap dirinya sebagai petugas partai, itu hak beliau. Tetapi hal tersebut tidak berarti merupakan sebuah norma hukum positif yang berlaku bagi semua warga negara RI. Lagipula, posisi Megawati ketika menjadi Presiden juga sebagai Ketum DPP PDIP, tidak seperti Presiden Jokowi yang tidak memiliki jabatan struktural di dalam partai tersebut. Dan rasanya saya belum pernah dengar ada pidato Presiden (dari dulu sampai sekarang) yang terang-terangan menyatakan dirinya sebagai petugas partai. Presiden adalah pejabat tinggi negara, yakni kepala pemerintahan yang hanya tunduk kepada konstitusi negara, bukan kepada AD/ART parpol. Jabatan Presiden juga bukan jabatan dari sebuah orpol dan/atau ormas, termasuk petugas partai!

Walhasil, istilah petugas partai yang digunakan oleh Megawati bagi Presiden Jokowi, hemat saya bertentangan dengan amanat konstitusi dan praktik, serta etik ketatanegaraan, walaupun dari pemahaman diri (self understanding) organisasi partai hal itu “seolah-olah” benar. Saya katakan seolah-olah, karena jika dirunut lebih jauh sampai pada filosofi bernegara, maka anggapan bahwa Presiden adalah petugas partai tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Saya bersimpati kepada Megawati yang merasa di-bully ketika banyak pihak menolak pandangan beliau itu. Dan tidak seharusnya pem-bully-an itu terjadi karena beda pendapat. Namun sejauh yang saya ketahui dari perspektif konstitusionalisme, maka pihak yang menolak pandangan Megawati berada dalam posisi yang lebih kuat, baik secara filosofis, konstitusional, dan etika pemerintahan. Jadi, mohon maaf Bu Mega, Pak Jokowi bukan petugas partai. Beliau adalah Presiden Republik Indonesia ke-7; dan hak serta kewajiban beliau diatur dalam UUD NRI 1945. (*)