KPK
Oleh: Al-Zastrouw

UNJUK rasa yang berujung kekerasan dan berlangsung selama berhari-hari telah memakan banyak korban dari kedua belah pihak, baik pengunjuk rasa maupun aparat keamanan. Tak hanya korban harta benda tapi juga jiwa dan luka-luka.

Jika dicermati, hampir semua korban kerusuhan baik harta maupun fisik, adalah orang-orang yang berada di level bawah dalam kelompok sosialnya. Mulai pedagang kecil yang warung tendanya gak bisa buka, pelajar sekolah yang terprovokasi, sampai aktivis mahasiswa dan aparat yang berhadapan di frontĀ depan aksi.

Di tengah derita dan luka para korban, para provokator yang menggerakkan aksi massa, para elite yang membuat dan memutuskan kebijakan yang memicu konflik bahkan para petualang politik yang merancang kerusuhan memantau keadaan dari ruang ber AC sambil memikmati hidangan mewah. Bahkan mereka bernegosiasi mengamankan kepentingan masing-masing. Demi memperkuat posisi tawar dalam negosiasi mereka tidak segan meningkatkan ekskalasi kerusuhan dengan menambah jumlah massa dan jumlah korban. Semakin rusuh, semakin brutal dan semakin banyak korban akan menaikkan posisi tawar secara politis.

Kondisi ini mengingatkan kita pada pemikiran Peter L Berger mengenai piramida korban manusia. Menurut Berger, janji-janji yang ada dalam ideolog, seperti jargon “pemerataan” dalam kapitalisme dan “revolusi” dalam sosialisme adalah omong kosong. Di balik janji manis dengan jargon yang menggiurkan itu ada banyak pengorbanan manusia dalam bentuk penderitaan, teror, perang, konflik.

Pemikiran Berger ini dipicu oleh keberadaan Piramida Cholula di Amerika Latin yang menjadi simbol kejayaan peradaban. Namun bagi Burger piramida itu juga menjadi simbol tumpukan korban manusia tak berdaya. Menurut Berger, manusia menderita karena kebutuhan fisik, psikhis, kognisi dan sosial demi tujuan tertentu, manusia yang diperalat kepentingan ideologis politis tertentu. Dan orang-orang seperti inilah yang mudah mengabaikan kemanusiaan, sehingga tega mengorbankan orang lain demi mewujudkan ambisi dan menjaga kepentingannya melalui konflik dan kerusuhan.

Untuk menambah jumlah massa, meningkatkan nafsu perlawanan dan militansi yang bisa mendorong sikap brutal dan anarki, masing-masing pihak membungkus dengan jargon yang revolusioner: pelemahan KPK, melawan oligarkhi, mengusir taliban di KPK, mengamankan pelantikan presiden dan berbagai jargon lain yang bisa memancing emosi publik. Agar tensi konflik makin tinggi dan suasana makin rusuh maka simbol agama pun dipakai, seperti lawan rezim toghut dan zalim, jihad menegakkan khilafah dan sejenisnya. Fitnah dan hoaksĀ pun disebar untuk bisa menggerakkan massa terlibat dalam kerusuhan.

Dalam perspektif Berger, kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini merupakan bentuk sesaji pengorbanan para elite untuk mempertahankan dan kepentingan masing-masing. Dan sebagimana dijelaskan Berger, yang rentan jadi korban adalah mereka yang yang lemah dan berada paling bawah dalam struktur sosial masing-masing kelompok. Jika mereka mahasiswa, aparat atau masyarakat dia berada di lapis bawah yang mudah diprovokasi dan digerakkan.

Untuk menjawab persoalan ini, Berger menawarkan perlunya demitologisasi ideologi. Artinya kita perlu memandang secara kritis jargon ideologis yang digunakan untuk menggerakkan massa, karena di balik jargon-jargon itu menyembunyikan seperangkat kepentingan, baik positif maupun negatif. Sikap kritis inilah yang bisa menjadi benteng agar tidak menjadi korban.

Kedua, melalui kebijakan politik yang realistis, transparan, dan partisipatif. Menurut Berger masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan politik harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam merumuskan defenisi situasi yang merupakan dasar dalam mengambil keputusan. Partisipasi ini oleh Berger disebut partisipasi kognitif.

Ini artinya harus ada kesadaran dari para elite negeri ini untuk membuka ruang partisipasi bagi masyarakat dalam merancang suatu kebijakan dan UU. Jika rakyat sudah bergerak sampai dengan melakukan tindakan maka sebaiknya dijadikan momentum koreksi kebijakan. Di sisi lain masyarakat harus memiliki daya kritis dan kesadaran diri untuk menentukan batas terjauh dalam melakukan tuntutan melalui unjuk rasa. Artinya jika ruang dialog sudah dibuka maka sebaiknya digunakan sebaik-baiknya, bukan terus ngotot dengan sikap anarki.

Kesadaran membangun dialog yang partisipatif, jujur dan terbuka merupakah langkah beradab dalam politik. Dan inilah cara menghentikan piramida korban manusia. (*)

* Dosen Pasca Sarjana Unusia, Penggiat Seni Tradisi dan Budaya Nusantara