Steve Mara

Kastara.ID, Jakarta – Kasus tewasnya George Floyd disebut sebagai salah satu kasus yang berhasil menarik perhatian dunia. Hal ini dibuktikan dengan pergerakan demonstrasi yang dilakukan di Amerika Serikat dan dibeberapa negara lain di dunia.

Tokoh Muda Papua Steve Mara menyatakan bahwa dalam pandangan teori dominasi sosial maka ini terlihat ada dua kelompok yang menempatkan diri mereka sesuai dengan penilaian kelompok mereka sendiri. Pertama adalah kelompok dominan dan kedua adalah kelompok subordinat

Dalam penjelasannya, jelas Steve, kelompok dominan merupakan kelompok yang ada diatas dan disebut sebagai kelompok menang yang memiliki kekuasaan dan seluruh nilai positif.

Sedangkan kelompok subordinat adalah kelompok di sisi bawah yang tidak menang, tidak memiliki kekuasaan, dan dianggap minoritas.

Dari kedua kelompok tersebut maka dapat dianalisis bahwa kelompok yang menentang rasisme adalah kelompok subordinat atau kelompok yang tidak memiliki kekuasaan, sedangkan kelompok dominan adalah pemerintah yang memiliki kekuasaan untuk menindas kelompok minoritas.

“Dalam kasus George Floyd yang terjadi di Amerika ini bukanlah konflik yang terjadi antara kelompok dominan dan kelompok subordinat, namun konflik ini bermula setelah pria kulit hitam ini diduga menggunakan uang palsu di salah satu swalayan dan dikunci oleh kepolisian sedang lehernya ditekan pakai lutut hingga George Floyd kehabisan nafas dan meninggal,” ujar dia dalam keterangan tertulisnya, Rabu (10/6).

Menurut dia, jika dicermati secara baik, tidak tercium bau rasisme dari kasus ini, melainkan kelalaian petugas yang mengakibatkan kematian terduga pengguna uang palsu.

Petugas yang melakukannya pun dihukum dengan hukum pembunuhan tingkat 2 serta beberapa petugas lain yang bertugas bersama pada saat itu dihukum dengan hukuman pembunuhan tingkat 3.

Ia menduga bahwa pergerakan massa yang melakukan demostrasi besar-besaran serta perlawanan di Amerika merupakan hasil dari propaganda media yang mengaitkan isu kematian George Floyd dengan rasisme.

“Padahal jika kita lihat kembali ke belakang, orang kulit hitam Barack Obama merupakan Presiden kulit hitam yang sangat disegani masyarakat di seluruh dunia bahkan Barack sering dikatakan sebagai Presiden Dunia,” ujar Steve yang juga merupakan Alumni Universitas Pertahanan.

Maka, tegas dia, kasus George Floyd tidak bisa dikatakan sebagai rasisme, melainkan kelalaian petugas atau dengan bahasa kasarnya kita sebut pembunuhan terhadap warna negara.

“Kasus rasisme atau perbedaan warna kulit perlu untuk kita refleksikan kembali. Saya melihat bahwa sampai saat ini masih banyak warga Indonesia yang termakan propaganda yang dimainkan lewat media untuk menciptakan konflik di Papua, sehingga perlu saya ingatkan kembali bahwa dalam membaca dan melihat sebuah berita perlu kita lihat secara utuh, agar kita tidak menjadi korban kejahatan teknologi masa kini,” tegas Steve yang pernah dipercayakan memimpin simulasi sidang di Komite Word Trade Organisation (WTO) dalam C-7 World Economy and Bussines Conferensi di Uzbekistan beberapa waktu lalu.

Selain itu, terang dia, perlu dicatat bahwa kecenderungan manusia yang tidak mau mencari pembanding sehingga dengan sangat mudah menelan informasi yang diterima kemudian dibagikan.

“Banyaknya informasi yang beredar juga telah menjadi alasan pembenar bagi sebuah kasus sehingga sebagai masyarakat kita harus pandai melihat pemberitaan dan menganalisis sebelum kita bagikan dan mempengaruhi orang lain,” kata dia.

Ia pun berharap agar masyarakat tidak menelan informasi secara dangkal yang akan berakibat menjadi konflik yang lebih besar.

“Narasi positif harus terus kita bangun, seperti kita tidak sama tetapi bisa bekerja sama, kita tidak satu tetapi bisa bersatu,” tutup dia. (ant)