Jamiluddin Ritonga

Kastara.ID, Jakarta – Pilkada Serentak 2020 sudah usai. Masing-masing paslon sudah mengetahui hasilnya melalui hitung cepat. Klaim kemenangan masing-masing paslon pun terjadi di mana-mana. Masalahnya, apakah hitung cepat dapat dijadikan acuan untuk mengklaim kemenangan?

Demikian diungkapkan Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta M. Jamiluddin Ritonga kepada Kastara.ID, Kamis (10/12).

“Secara metodologis, hasil hitung cepat seharusnya dapat dijadikan acuan menang tidaknya paslon. Garansi ini tentu bila lembaga survei yang melakukan hitung cepat taat asas dalam menetapkan sampel berdasarkan TPS,” jelas pria yang kerap disapa Jamil ini.

Masalahnya, lanjutnya, lembaga survei tidak terbuka dalam mengungkap prosedur pengambilan sampelnya. Akibatnya, kita tidak dapat menilai apakah hasil hitung cepat dapat digeneralisasikan ke seluruh TPS?

“Akibatnya, beberapa kasus hasil hitung cepat tidak sesuai dengan hasil resmi yang dikeluarkan KPU. Kalau ini yang terjadi, tentu membuat gesekan di akar rumput, terutama dari pendukung paslon,” ungkap penulis buku Riset Kehumasan ini.

Jamil juga menjabarkan, pelaksanaan pilkada serentak 2020 kali ini memunculkan banyak pelanggaran protokol kesehatan. Hal itu terlihat dari dominannya pelaksanaan kampanye secara tatap muka.

“Kampanye model ini membuka ruang terjadinya kerumunan. Dalam kerumunan itu jarak sudah diabaikan dan sebagian dari peserta tidak menggunakan masker,” ungkap Jamil.

Jadi, harus diakui bahwa jumlah peserta kampanye tatap muka 50 orang jarang ditaati oleh masing-masing paslon. Termasuk melibatkan anak dalam kampanye juga masih mengemuka.

“Sementara kampanye melalui media sosial tampak minim. Padahal kampanye cara ini sangat sesuai dengan situasi pandemi covid-19. Kampanye media sosial juga terkesan hanya beraifat informatif. Pesan yang persuasif tampak masih minim,” tandas pengajar Metode Penelitian Komunikasi ini.

Bahkan mirisnya, kampanye melalui medsos juga bermuatan kampanye hitam. Menyudutkan masing-masing paslon masih mengemuka. “Jadi kampanye yang edukatif tampak masih sangat minim. Hal ini kiranya menjadi evaluasi bagi pelaksana pilkada,” ungkapnya.

Jamil juga melihat bahwa kampanye via media sosial tidak dimaksimalkan karena sebagian paslon masih yakin kampanye yang efektif masih melalui tatap muka. “Karena itu, paslon masih menggunakan kampanye tatap muka untuk meyakinkan calon pemilih memilihnya,” pungkasnya. (jie)