Ekspor

Kastara.ID, Jakarta – Tahun 2020 adalah tahun luar biasa bagi seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Pandemi COVID-19 seakan mengulang sejarah wabah besar seabad yang silam dan menyebabkan terganggunya kondisi kesehatan dan ekonomi secara signifikan di seluruh negara termasuk Indonesia. Merespons kejadian ini, pemerintah bergerak cepat dan APBN telah menjadi instrumen yang paling efektif untuk menahan pemburukan.

Sepanjang tahun 2020, dampak dari pandemi COVID-19 telah menyebabkan tekanan yang dalam pada perekonomian global. Ketidakpastian yang tinggi menyebabkan lembaga internasional seperti IMF, OECD dan World Bank terus melakukan pembaruan atas proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Pada asesmen terakhir, ketiganya memprediksi terjadi kontraksi pertumbuhan ekonomi global pada kisaran -4% (yoy).

Indonesia tidak luput dari imbas pandemi COVID-19. Di dalam negeri, kasus harian COVID-19 masih tetap berlanjut dengan penambahan kasus yang masih eskalatif terutama dalam 1,5 bulan terakhir.

Upaya penanganan pandemi COVID-19 menyebabkan terganggunya mobilitas yang berujung pada penurunan aktivitas ekonomi. Di kuartal pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia langsung terdampak setelah di beberapa tahun sebelumnya selalu berada di kisaran angka 5%.

Pada kuartal selanjutnya, Indonesia menetapkan kebijakan PSBB ketat untuk meminimalisasi penyebaran kasus COVID-19 yang menyebabkan ekonomi nasional terkontraksi sebesar -5,32%. Sementara pada kuartal ketiga, seiring dengan pelonggaran PSBB, perekonomian Indonesia mulai menunjukkan titik pembalikan meskipun masih terkontraksi -3,49%.

Namun eskalasi COVID-19 sampai dengan akhir tahun yang relatif tinggi masih memberikan tekanan pada kinerja pertumbuhan ekonomi nasional.

Secara keseluruhan 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan mengalami kontraksi -2,2%. Ini lebih baik dibandingkan mayoritas negara ASEAN seperti Malaysia -6%, Filipina -8,3%, Thailand -7,1%, Singapura -6%.

Sementara dibanding negara-negara G20 seperti Perancis -9,8%, Jerman -6%, India -10,3%, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga lebih baik. Hanya Tiongkok yang tumbuh positif 1,9%.

Kondisi ekonomi di akhir tahun terus menunjukkan tren pemulihan. Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur, sebagai salah satu indikator aktivitas perekonomian yang sebelumnya tercatat kontraktif, mulai menunjukkan angka ekspansif di akhir tahun yaitu sebesar 51,3. Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS dan IHSG juga mengalami penguatan dan semakin stabil seiring membaiknya aliran modal di akhir tahun.

Tekanan pandemi COVID-19 menyebabkan semua negara di dunia mengeluarkan respon kebijakan fiskal yang luar biasa. Dari sisi penerimaan, kebijakan fiskal seluruh dunia diarahkan untuk membantu cashflow masyarakat dan dunia usaha melalui insentif perpajakan.

Dari sisi belanja, dilakukan refocusing dan realokasi untuk mendukung penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi. Hasilnya, negara-negara di dunia mengalami pelebaran defisit yang sangat dalam. Realisasi defisit fiskal Indonesia 2020 sebesar 6,09% PDB termasuk cukup moderat.

Di akhir 2020, angka realisasi sementara APBN Indonesia telah mencerminkan kebijakan-kebijakan luar biasa tersebut. Pendapatan Negara mengalami tekanan yang cukup dalam dimana pendapatan negara terkumpul sebesar Rp 1.633,6T, turun 16,7% dibanding 2019. Jika dilihat dari targetnya, capaian ini setara dengan 96,1% dari target Perpres 72/2020.

Realisasi ini cukup menggembirakan di tengah aktivitas perekonomian yang terganggu secara luar biasa, berupa hambatan permintaan dan penawaran, volatilitas harga komoditas, dan kurang optimalnya kinerja ekspor-impor. Tidak hanya itu, pendapatan negara juga menurun karena pemberian stimulus fiskal perpajakan untuk membantu dunia usaha dan masyarakat yang terdampak COVID-19.

Di tengah pendapatan negara yang tertekan, realisasi belanja negara sepanjang 2020 terus terakselerasi dan ditutup dengan tumbuh sangat tinggi. Belanja Negara 2020 berada pada Rp 2.589,9T, naik 12,2% (yoy). Jika dibandingkan dengan targetnya, penyerapan belanja bernilai 94,6% dari Perpres 72/2020. Pertumbuhan realisasi belanja negara tersebut sejalan dengan strategi countercyclical yang ditempuh pemerintah dalam penanganan COVID-19.

Hal ini terutama untuk menahan laju kontraksi ekonomi serta mengurangi dampaknya pada kenaikan angka kemiskinan dan tingkat pengangguran akibat pandemi. Penyerapan belanja dilakukan dengan mengikuti tata kelola yang baik untuk memastikan seluruh kegiatan dan program tetap akuntabel meskipun harus dilakukan secara cepat.

Hasil dari kondisi pendapatan dan belanja negara ini menyebabkan defisit APBN tercatat sejumlah Rp 956,3T atau -6,09% PDB. Realisasi ini lebih baik daripada asumsi -6,34% di Perpres 72/2020. Defisit -6,09% ini masih relatif lebih kecil dibanding banyak negara ASEAN maupun G20. Defisit Malaysia tercatat -6,5% PDB, Filipina -8,1%, India -13,1%, Jerman -8,2%, Perancis -10,8%, Amerika Serikat -18,7% dari PDB.

“Meskipun relatif kecil dibandingkan negara-negara lain, APBN Indonesia telah bekerja secara optimal sebagai instrumen kebijakan countercyclical di masa pandemi.” ungkap Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu, Febrio Kacaribu dalam siaran pers yang diterima Senin (11/1).

Realokasi dan refocusing serta akselerasi belanja yang dilakukan diarahkan untuk mengatasi tiga fokus utama: mengatasi gangguan kesehatan, melindungi konsumsi dasar masyarakat miskin dan rentan serta mendukung kegiatan usaha terutama UMKM.

Dampak pandemi COVID-19 yang besar telah menghambat mata pencaharian sebagian masyarakat dan meningkatkan kemiskinan di Indonesia pada tahun 2020. Dari laporan Badan Pusat Statistik, tingkat pengangguran terbuka Agustus 2020 tercatat sebesar 7,07%, naik signifikan dibandingkan Agustus 2019 5,28% atau Februari 4,99% sebagai dampak kontraksi PDB akibat pandemi COVID-19.

Eskalasi belanja yang cukup besar digunakan untuk menahan dampak negatif tersebut. Belanja Bansos difokuskan untuk menjaga daya beli masyarakat dengan membantu konsumsi masyarakat miskin dan rentan melalui berbagai program bantuan sosial antara lain PKH, Bantuan Sembako, dan Bansos Tunai. Sementara dukungan UMKM dilakukan dalam bentuk Subsidi Bunga UMKM, Penjaminan Kredit UMKM, dan Banpres Pelaku Usaha Mikro (BPUM).

Berbagai program tersebut sangat penting untuk bantalan bagi UMKM untuk tetap bertahan dan membantu memfasilitasi proses transisi ketenagakerjaan dari sektor formal ke sektor informal selama masa pandemi. Dengan disalurkannya program-program ini di tahun 2020, belanja bantuan sosial tumbuh sangat tinggi mencapai 82,3% (yoy).

“Tingginya realisasi belanja bantuan sosial di tahun 2020 adalah bukti bahwa APBN ditujukan untuk melindungi konsumsi masyarakat miskin dan rentan di masa pandemi,” Febrio mengakhiri. (mar)