KPU

Kastara.ID, Jakarta – Kenyataan pahit harus diterima Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Wahyu Setiawan, usai penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Institusi tempat Wahyu mengabdi ternyata tidak memberi bantuan hukum.

“Karena perkara ini tidak terkait dengan kebijakan KPU yang dipersoalkan. Jadi ya enggak ada bantuan hukum,” kata Ketua KPU RI Arief Budiman, dalam keterangan tertulisnya (11/1).

Arief menuturkan, pihaknya sudah membangun sistem tahapan dan prosedur pemilu dengan baik. “Tapi saya yakinkan kepada masyarakat bahwa tahapan pemilu pekerjaan di KPU itu sudah dibangun sistemnya, tata caranya prosedurnya dengan baik. Jadi siapapun yang mengabaikam tata prosedural dan kebijakan KPU, maka akan diberikan sanksi,” ujarnya.

KPU juga telah menerima surat pengunduran diri secara resmi dari Wahyu Setiawan. “Kami menerima dari keluarga Pak Wahyu surat pengunduran diri yang ditandatangani oleh Pak Wahyu Setiawan bermaterai,” katanya.

Dalam surat tersebut, Wahyu menjelaskan resmi mundur dari jabatannya dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan dari pihak manapun.

Pengunduran diri Wahyu tersebut akan segera diteruskan kepada Presiden Joko Widodo, dan menyampaikan salinan suratnya ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Penetapan status tersangka terhadap Wahyu Setiawan oleh Komisi KPK, tidak semerta-merta bisa memberhentikan statusnya sebagai komisioner KPU. Hal itu merujuk kepada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Arief menegaskan, Wahyu bisa diberhentikan sementara setelah menjalani persidangan dan statusnya sebagai terdakwa. “Ya kalau menurut undang-undang setelah ditetapkan sebagai terdakwa, dia diberhentikan sementara,” katanya.

Arief menjelaskan jika kasusnya sudah ada putusan hukum tetap atau inkrah dan dinyatakan bersalah, maka Wahyu akan diberhentikan secara permanen. “Kemudian setelah ada putusan inkrah, tergantung putusan inkrahnya. Kalau putusan inkrahnya salah, berarti berhenti tetap. Kalau putusan inkrahnya dinyatakan tidak bersalah, maka direhabilitasi,” ungkapnya.

Arief memastikan pihaknya bisa memberhentikan sementara Wahyu sejak ditetapkan sebagai tersangka. “Nah, tetapi KPU membuat peraturan KPU yang lebih progresif dari apa yang diatur oleh UU. Jadi bukan sejak terdakwa, sejak tersangka di dalam Peraturan KPU (PKPU) kita sudah bisa melakukan proses pemberhentian sementara,” katanya.

“Tapi karena ini terjadi di KPU RI, proses pemberhentian sementara atau tetap itu kan dilakukan dengan SK presiden,” tambahnya.

Berbeda dengan adanya pengundurun diri, hal ini tidak perlu adanya pemberhentian sementara, akan tetapi dirinya harus menyampaikan terlebih dahulu kepada Presiden Joko Widodo.

Sedangkan anggota KPU RI Ilham Saputra menambahkan, pemberhentian anggota KPU RI yang tersangkut kasus hukum sudah diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. “Kalau di UU bahkan di UU itu meskipun baru tahap proses pemeriksaan harus kita berhentikan sementara terlebih dahulu,” ujarnya.

Ilham menerangkan. sesuai mekanisme ketentuan pemberhentian Wahyu baru dapat dilakukan setelah yang bersangkutan menyandang status terdakwa. Namun bisa saja dilakukan mekanisme lain yang tetap mengacu pada ketentuan  perundangan.

“Pemberhentian bisa juga dilakukan melalui putusan  DKPP yang menilai berdasarkan status hukum Wahyu. Bisa kemudian di UU disebutkan harus terdakwa terlebih dahulu, bisa saja kemudian menggunakan mekanisme DKPP. Kita laporkan status beliau sudah meningkat,” tegasnya.

Sesuai ketentuan perundangan pengganti pergantian antar waktu (PAW) Wahyu Setiawan adalah calon anggota KPU peraih jumlah suara terdekat dalam uji kepatutan dan kelayakan di DPR pada bulan April 2017.

Peraih jumlah terdekat itu adalah I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi yang meraih dukungan suara dari anggota Komisi II DPR ketika itu sebanyak 21 suara. Sebelumnya, KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap  komisioner KPU RI, yaitu Wahyu Setiawan pada Rabu, 8 Januari 2020.

KPK juga telah mengumumkan empat tersangka terkait kasus suap terkait penetapan anggota DPR RI terpilih 2019-2024. Sebagai penerima, yakni Wahyu dan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu atau orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina (ATF).

Sedangkan sebagai pemberi, yakni kader PDIP Harun Masiku (HAR), dan Saeful (SAE) dari unsur swasta. Wahyu meminta dana operasional Rp 900 juta, untuk membantu Harun sebagai anggota DPR. (ant)