Kastara.ID, Jakarta – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengapresiasi Polres Gresik yang sudah bertindak cepat dan berhasil memfasilitasi penyelesaian kasus “siswa SMP di Gresik yang merokok di kelas dan menantang guru yang menegurnya”, sehingga tercapai perdamaian dan siswa tersebut sudah meminta maaf kepada gurunya. Hal itu disampaikan oleh Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti dalam keterangannya (11/2).

Menurut Retno, KPAI menyesalkan sanksi yang diberikan pihak sekolah kepada anak pelaku berpotensi kuat tidak memberikan efek jera dan dapat menjadi presiden buruk bagi kasus serupa di masa mendatang.

Dari keterangan Kepala Sekolah diinfokan bahwa siswa pelaku dijatuhi sanksi berupa “wajib shalat berjamaah selama tiga hari berturut-turut”. “Sanksi ini niatnya baik, yaitu untuk mendidik agama siswa. Namun, sanksi menghukum shalat akan menimbulkan salah persepsi anak terkait makna shalat. Shalat yang semestinya dilakukan dengan kesadaran sebagai cermin ketaatan manusia kepada Tuhannya akan diartikan si anak sebagai hukuman. Orang yang melakukan shalat bisa dipersepsikan sedang dihukum,” ujar Retno.

“Ini jelas menyalahi makna dan kekhimatan shalat itu sendiri. Selain itu, hukuman semacam ini kemungkinan tidak menimbulkan efek jera pada anak yang bersangkutan,” imbuhnya.

Ketika KPAI menanyakan kepada Kepala Sekolah, apakah sanksi semacam itu ada dalam aturan sekolah, ternyata jawabannya tidak ada. Sanksi dalam aturan sekolah untuk siswa yang melawan guru adalah melakukan push-up sebanyak 20 kali. Menurut Retno, hukuman fisik semacam push-up dan sit-up jika tidak dilakukan dengan tepat malah akan berpotensi menimbulkan cedera pada anak.

Berbekal info dan keterangan yang didapat, pihak KPAI memberikan lima rekomendasi. Rekomendasi pertama, dari berbagai kasus kekerasan di pendidikan yang terjadi di tahun 2018, baik kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa, siswa terhadap guru, dan antara sesama siswa, menunjukkan bahwa banyak sekolah “gagap” menanganinya. Kegagapan dipicu oleh faktor kekhawatiran dianggap melanggar UU Perlindungan Anak. Padahal, siswa yang melanggar tata tertib bisa diberikan sanksi sesuai ketentuan tata tertib sekolah.

“Sepanjang ketentuan tata tertib sekolah sudah berdasarkan kesepakatan bersama, sudah disosialisasikan dan tidak melanggar peraturan perundangan yang berlaku di negeri, maka sekolah dapat menerapkannya. Siswa yang bersalah haruslah dididik untuk belajar dari kesalahan dan diberikan kesempatan memperbaiki diri,” papar Retno.

KPAI juga mendorong Dinas-dinas Pendidikan, Kemdikbud dan Kemenag untuk mensosialisasikan secara massif UU RI No. 35/2014 tentang Perlindungan dan UU RI No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen.

Rekomendasi kedua, untuk kasus siswa yang merokok di kelas dan menantang guru, lanjut Retno, seharusnya tidak selesai begitu saja setelah adanya perdamaian dan saling memaafkan. KPAI sekolah wajib memberikan sanksi terhadap siswa sesuai dengan kadar kesalahannya. Disiplin positif bisa dilakukan, misalnya dengan memberikan skorsing bagi siswa selama dua minggu yang diwajibkan untuk melakukan assesmen psikologis didampingi orang tua siswa ke P2TP2A setempat. Jika dalam assesmen dibutuhkan terapi psikologis untuk meredakan sikap agresifnya, maka siswa dan orang tua wajib menjalaninya hingga tuntas.

KPAI menilai kasus-kasus kekerasan yang dilakukan siswa, baik terhadap sesama siswa maupun orang dewasa lainnya, biasanya sangat dipengaruhi oleh pola asuh di lingkungan keluarga. Ayah-ibu adalah model utama bagi anak-anak untuk meniru. “Jika pola asuh positif yang diterapkan, maka besar kemungkinan anak menjadi pribadi yang matang, penuh kasih sayang, dan mandiri. Kehangatan keluarga juga sangat mempengaruhi perilaku anak di sekolah dan di masyarakat. Oleh karena itu, para orang tua siswa di SMP ini wajib diberikan kelas parenting untuk memberikan pengetahuan bagaimana mendidik dan menerapkan pola asuh positif dalam keluarga,” jelas Retno.

Terkait kegagapan guru dan sekolah dalam mencegah dan menangani kekerasan di sekolah, menurut Retno, pemerintah daerah (Dinas Pendidikan) dan pemerintah pusat (Kemdikbud) wajib menyelenggarakan pelatihan-pelatihan guru dalam “manajemen pengelolaan kelas yang baik”. “Para guru harus dibekali bagaimana menghadapi situasi sulit saat berhadapan dengan siswa yang memiliki kecenderungan agresif,” tandasnya.

KPAI juga merekomendasikan program penguatan pendidikan karakter di sekolah yang dalam praktiknya belum membumi, masih di awang-awang bagi banyak guru dan kepala sekolah, sehingga banyak sekolah yang belum paham bagaimana mengimplementasikannya.

KPAI juga melihat bahwa karakter seorang anak sangat dipengaruhi oleh pola asuh dalam keluarga sebagai penanaman karakter pertama dan utama. Namun, sebagaimana dinyatakan Ki Hajar Dewantara, Tri pusat pendidikan adalah bahwa pendidikan tidak hanya di lingkungan sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat.

“Jadi sangat tidak adil kalau kasus-kasus semacam ini selalu menjadikan sekolah sebagai kambing hitam karakter siswa yang dianggap buruk,” pungkasnya. (put)