Kastara.ID, Jakarta – Film dokumenter Dirty Vote telah diputar secara resmi di kanal YouTube ‘Dirty Vote Indonesia’ pukul 11.00 WIB pada Ahad (11/2) kemarin. Dirty Vote mencoba mengungkap sejumlah kecurangan pada Pemilu 2024.

Walau baru dirilis kemarin siang, namun Dirty Vote telah disaksikan jutaan penonton. Terutama bagi mereka yang ingin mengetahui lebih dalam tentang konten film dokumenter Dirty Vote.

Seperti dilansir pikiran-rakyat.com, film yang disutradarai oleh Dandhy Laksono ini mengungkapkan desain kecurangan pada Pemilu 2024, terutama dari sudut pandang tiga pakar hukum tata negara di Indonesia, yaitu Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Asamsi.

Bivitri, sebagai salah satu narasumber, menegaskan bahwa masyarakat harus menyadari bahwa telah terjadi kecurangan yang signifikan pada Pemilu 2024. Dia menilai bahwa Pemilu 2024 tidak dapat dipandang remeh.

Film dengan durasi 1 jam 57 menit ini dimulai dengan pernyataan ketiga pakar yang mengindikasikan adanya kecurangan pada Pemilu 2024. Mereka berpendapat bahwa melalui film ini, masyarakat dapat lebih memahami seberapa besar kecurangan yang terjadi dalam Pemilu di Indonesia.

Menurut Bivitri, kecurangan tersebut tidak dapat diabaikan demi kelancaran Pemilu. Sementara Zainal Arifin Mochtar menganggap bahwa film Dirty Vote ini merupakan momen untuk mengingatkan masyarakat bahwa mereka memiliki peran besar dalam pembentukan pemimpin seperti Jokowi.

“Film ini adalah momen, tagihan yang kita ingat bahwa kita punya peranan besar melahirkan orang yang bernama Jokowi,” ujar Zainal Arifin Mochtar.

Ketiga pakar ini sepakat bahwa berbagai instrumen kekuasaan telah dimanfaatkan untuk memenangkan pemilu dan merusak tatanan demokrasi.

Selain itu, mereka juga menyoroti penggunaan infrastruktur kekuasaan yang terlalu berlebihan dan dipertontonkan secara terang-terangan kepada masyarakat. Berdasarkan analisis ketiga pakar hukum tata negara tersebut, kecurangan dalam Pemilu 2024 bukanlah sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan sudah direncanakan secara matang, terstruktur, dan sistematis, mulai dari penunjukkan PJ Gubernur dan Wali Kota yang dinilai oleh Ombudsman RI sebagai maladministrasi.

Mengakhiri tayangan film Dirty Vote, Bivitri menegaskan bahwa untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor seperti ini, tidak diperlukan kecerdasan yang tinggi, melainkan hanya mental culas dan ketiadaan rasa malu.

“Untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor seperti ini tidak perlu kepintaran dan kecerdasan yang diperlukan cuma 2: mental culas dan tahan malu.”

Bivitri Susanti
Perempuan kelahiran 5 Oktober 1974 itu mendapatkan gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) pada 1999. Bivitri Susanti juga mendirikan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bersama dengan rekan-rekannya. PSHK merupakan lembaga penelitian dan advokasi reformasi hukum yang dipicu oleh peristiwa Mei 1998.

Dia, kemudian, melanjutkan pendidikan di Universitas Warwick, Inggris pada 2002 dan meraih gelar Master of Laws. Setelah itu, dia langsung melanjutkan pendidikan hukum di University of Washington School of Law Amerika Serikat dan meraih gelar doktor bidang hukum.

Zainal Arifin Mochtar
Pria yang dikenal sebagai Ketua Departemen Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), sempat menjadi Direktur Pusat Kajian Anti-korupsi (Pukat) FH Gadjah Mada.

Dia sempat menjadi pemandu debat Capres dan Cawapres pada 2014 yang lalu. Ia mendapatkan gelar sarjana hukum dari UGM. Kemudian dia melanjutkan pendidikan S2 dan meraih gelar Master of Law dari Northwestern University pada 2006. Zainal Arifin kemudian meraih gelar doktor ilmu hukum dari UGM pada 2012.

Feri Amsari
Merupakan sosok akademisi dan aktivis hukum sekaligus pengajar di Fakultas Hukum Universitas Andalas. Dia juga menjadi pengamat hukum tata negara, peneliti senior, dan mantan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Pria kelahiran 2 Oktober 1980 itu sempat melayangkan kritik keras soal pelanggaran etik yang dilakukan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari usai divonis Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Dia mendorong agar Hasyim Asy’ari segera dipecat. (har)