CPNS

Kastara.id, Jakarta – Komnas HAM meminta seluruh kementerian dan lembaga, khususnya Kejaksaan Agung Republik Indonesia, tidak melakukan diskriminasi terhadap minoritas orientasi seksual dan identitas jender dalam proses rekrutmen Calon Pegawai Negri Sipil (CPNS).

Komnas HAM menyesalkan informasi dari halaman website resmi Kejaksaan Agung Republik Indonesia perihal persyaratan “tidak cacat mental termasuk kelainan orientasi seks dan kelainan perilaku (transgender)” bagi yang melamar menjadi calon pegawai negeri di institusi Kejaksaan Agung RI.

Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron menegaskan, pernyataan dalam persyaratan ini sangat disesalkan karena dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III tahun 1993 sendiri sudah jelas disebutkan bahwa orientasi seksual bukanlah gangguan. The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) sebagai panduan penggolongan gangguan jiwa internasional pada tahun 1987 juga sudah menyebutkan bahwa orientasi seksual bukanlah gangguan jiwa.

“Oleh karena itu penggunaan kata kelainan orientasi seks dan kelainan perilaku (transgender) sepatutnya tidak digunakan oleh lembaga negara apapun termasuk Kejaksaan Agung RI,” kata Muhammad Nurkhoiron dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (12/9).

Menurut Nurkhoiron, Komnas HAM juga menyesalkan adanya persyaratan tersebut karena tidak sesuai dengan konstitusi, undang-udang dan prinsip non diskriminasi dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28D negara menjamin setiap orang untuk dapat bekerja, tanpa adanya pembatasan karena orientasi seksual dan identitas jendernya.

Nurkhoiron menambahkan, pasal 38 Undang-undang No. 39 tahun 1999 kembali menegaskan bahwa sesuai dengan bakat, kecakapan dan kemampuannya setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan dan berhak atas syarat ketenagakerjaan yang adil. Syarat yang ditetapkan Kejaksaan Agung RI merupakan wujud ketidakadilan bagi minoritas orientasi seksual dan identitas jender.

“Dalam pasal 6 Kovenan hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang sudah diratifikasi dengan Undang-undang No. 11 tahun 2005 disebutkan negara mengakui hak atas pekerjaan dan negara wajib mengambil langkah-langkah yang tepat guna melindungi hak ini. Adanya pembatasan berdasarkan orientasi seksual dan identitas jender mengindikasikan adanya pelanggaran yang dilakukan negara untuk menjamin hak atas pekerjaan,” ujar Nurkhoiron.

Dalam UU No. 5 tahun 2014 juga menegaskan bahwa aparatur sipil negara adalah profesi yang berlandaskan komitmen, kompetensi, integritas, dan profesionalitas jabatan. Berdasarakan prinsip ini maka seharusnya setiap warga negara, termasuk minoritas orientasi seksual dan identitas jender yang memenuhi prinsip tersebut dan lolos seleksi dapat menjadi ASN.

Undang-undang No. 21 tahun 1999 juga menegaskan untuk tidak adanya diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan. Prinsip Yogyakarta tentang standar HAM internasional terhadap orientasi seksual dan identitas jender mewajibkan negara melindungi hak-hak minoritas orientasi seksual dan identitas jender, dan mengambil langkah-langkah strategis untuk pemenuhan haknya. Oleh karena itu pembatasan kesempatan kerja karena orientasi seksual tidak seharusnya dilakukan oleh institusi negara. (npm)