KPK

Kastara.ID, Jakarta – Presiden Joko Widodo telah mengirimkan Surat Presiden (Surpres) tentang revisi UU KPK ke DPR RI. Langkah tersebut dinilai sebagai pertanda Jokowi mengikuti keputusan DPR (12/9).

Surpres berisikan bahwa Presiden Jokowi telah menunjuk Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Syafruddin untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) bersama DPR. Dengan terbitnya surat presiden maka pemerintah setuju untuk membahas revisi UU KPK.

Menanggapi keputusan tersebut banyak pemerhati politik memberikan kritikan pedas. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menganggap bahwa keteguhan hati Jokowi untuk membela KPK mulai goyah.

Lucius juga memandang bahwa revisi UU KPK itu merupakan nafsu pamungkas DPR sebelum akhirnya turun jabatan Oktober nanti. Tujuan revisi UU KPK tak lain adalah memperlemah KPK.

Peneliti Formappi ini menjelaskan bahwa Surpres revisi UU KPK yang dilayangkan KPK merupakan lonceng pembuka redupnya KPK. Sebab Surpres tersebut bisa menjadi bola liar ketika revisi UU KPK sudah dibahas oleh DPR. Apalagi dalam proses pembahasan presiden tak bisa begitu dominan lagi untuk menentukan sikap.

Senada dengan Formappi, Indonesia Corruption Watch (ICW) melalui Donal Fariz menyebut Jokowi lebih mendengarkan partai politik dibandingkan suara rakyat. Bahkan Donal mengatakan bahwa penandatanganan Surpres revisi UU KPK tersebut akan menjadi sejarah terburuk dalam kepemimpinan Jokowi (11/9).

Donal menjelaskan bahwa KPK sekarang berada di ujung tanduk. Selain itu peneliti ICW ini mengaku kecewa dengan keputusan Jokowi yang dinilai gagal memenuhi harapan publik. Apalagi Jokowi sendiri ternyata penerima Bung Hatta Anticorruption.

Pengiriman Surpres ini dinilai telalu buru-buru oleh Donal, sebab Jokowi diberikan waktu 60 hari untuk mengkaji draft revisi UU KPK itu. (rya)