Oleh: Mohammad Sabri

SEJARAH merawat sebilah keyakinan: manusia selalu butuh idola—Tuhan, Nabi, dan Sang Pemimpin. Mungkin karena manusia acapkali dilimbur kecemasan dan tak kuasa menghalaunya. Tapi ada tautan yang menyebabkan kultus Sang Pemimpin menjadi kisah yang eksotik: kombinasi antara kekuasaan politik dan kata-kata yang digenggamnya. Ketika hendak mengukuhkan kekuasaannya, “titah” Sang Pemimpin lalu jadi doktrin, doktrin jadi slogan, dan slogan meluahkan mantra.

Di sini pemimpin —dalam  pendakuan Clifford Geertz— diandaikan sebagai “pusat keteladanan” (exemplary center). Di balik jubah aristokrasi Prancis disebut noblesse oblige yang mendalilkan: seseorang, dengan status sosio-kultural lebih tinggi mengandaikan kewajiban yang lebih banyak, termasuk kewajiban dalam memberikan teladan hidup. Ini mengisyaratkan jika seorang pemimpin mutlak lahir dari kelas bangsawan. Namun Revolusi Perancis meluruhkan semuanya, ketika meletus di pagi genting 14 Juli 1789, paham tersebut dilumat oleh sistem demokrasi yang mengusung “persamaan” setiap orang di hadapan hukum: bahwa setiap orang yang melakukan kesalahan yang sama —ketika berada dalam keadaan yang sama— harus dihukum dengan hukuman yang sama, meski mereka berasal dari status sosio-kultural yang berbeda.

Dengan  begitu demokrasi mengandaikan adanya persamaan dalam moralitas semua orang, tetapi dalam formula negatif: bahwa setiap orang dengan kebajikan yang aneka, dapat jatuh dalam kesalahan yang sama, khususnya ketika mereka menggengam kekuasaan. Doktrin noblesse oblige digusur oleh prinsip power tends to corrupt: kecenderungan kepada penghianatan dan kejahatan selalu melekat pada kekuasaan. Sebab, kecenderungan kekuasaan untuk memperbesar dirinya jauh lebih kuat daripada kemampuannya membatasi, mengawasi, menegasi, dan mengritik dirinya. Dalam demokrasi diandaikan, kekuasaan yang lebih besar memberi kesempatan untuk kesalahan dan penyelewengan yang lebih serius.

Itu sebab, pemimpin yang baik dalam demokrasi tak sekadar pemimpin teladan, tapi pemimpin yang tunduk pada pengawasan publik: pisau hukum dan kontrol sosial para warga. Pemimpin yang baik diandaikan bisa melakukan kesalahan, tapi dia harus siap untuk dikoreksi. Legitimasinya terbangun justru di atas moral courage: siap mengakui kesalahannya, memperbaikinya, mengoreksinya, dan bersedia menerima sanksi akibat kesalahan tersebut, ketimbang berkelit dengan berbagai “dalih” dan mengelak dari kesalahan. Inilah  jalan purgatorio sang pemimpin.

Ada pesan kearifan yang mengalir deras dalam jantung kesadaran masyarakat Eropa, house is made of bricks, home is made of lovehouse dibangun dengan batu bata, home  dibangun dengan cinta. Jika wujud materi bangunan sebuah rumah adalah house, maka spirit, tradisi, filosofi, ilmu, bahasa, seni, paradigma dan cinta yang menubuh di dalamnya adalah home. Ketika rumah hanya dipahami sebagai bangunan asri nan megah, tatanan material yang apik, lantas mengabaikan sukmaruh, dan jiwa apa yang mendasari setiap nafas konstruksinya, maka sejak itu rumah telah kehilangan autentisitasnya.

Bangsa, seperti halnya rumah, juga mengandaikan identitas yang autentik: wadah perjumpaan cita-cita, gagasan, mimpi, dan harapan para penghuninya. Tapi, rumah juga menyisakan sesuatu yang genting. Sebab, pencarian sungguh-sungguh terhadap autentisitas, kini tengah termangsa oleh  imperium citra dan semesta tanda. Hal itu senapas dengan apa yang digalaukan Adorno dalam The Jargon of Authenticity (1983) sebagai “suasana penuh jebakan dan perangkap yang menyesatkan, karena dunia citra dan simulakrum dipenuhi oleh jargon-jargon semu, termasuk jargon keautentikan.” Realitas kontemporer kita kini tengah tersedot ke dalam “lubang hitam” post-realitas: sebuah realitas palsu yang tidak lagi setia terhadap ada-autentik. Itu sebab, pembangunan rumah, dan juga bangsa, meniscayakan gerak pendulum serta menjaga keseimbangan antara “house” dan “home.”

Sebagai “rumah besar kebangsaan” bagi warganya, Indonesia sejatinya, butuh pemimpin yang punya kesadaran kritis dan arif: bahwa di balik ikhtiar mendorong pertumbuhan sejumlah sentra ekonomi baru yang pesat, aneka-industri dan inovasi teknologi berbasis riset, kota-kota yang mekar, upaya mendongkrak nilai rupiah di pasar global, dan melubernya dunia citra dengan pesona magis dunia digital-cyber yang merengkuh, kita juga membutuhkan kearifan mengelola kehidupan kepelbagaian, relasi lintas iman, pembangunan karakter dan akhlak bangsa, menggali tradisi dan kebajikan lokal, merawat kebersamaan dan kebersesamaan, menangani serius pandemi Covid-19, dan menggelorakan ideologi Pancasila dalam setiap nafas kehidupan kebangsaan.

Ketersediaan ruang-ruang publik yang cukup untuk kebebasan berkumpul, berekspresi dan berpendapat, juga sebuah keniscayaan. Sudah saatnya kita mengubah cara dan pendekatan terhadap penyelesaian anak-anak jalanan, kaum miskin kota dan penggusuran PKL dari tindakan yang sepenuhnya formalistik-legal ke gerakan kultural: mereka juga niscaya dilihat sebagai warga negara yang secara konstitusional dijamin hak hidup dan kehormatannya. Penyelesaian konflik lintas agama, perbedaan paham intra-iman, ketegangan etnik, rasial, kekerasan yang menggenang  pada tawuran antar pelajar dan mahasiswa, premanisme, gang motor, dan seterusnya juga membutuhkan sentuhan hati dan tangan dingin sang pemimpin.

Negara-bangsa —seperti  halnya rumah—sebab itu, mengandaikan  eksotisme ganda yang terpaut: daya pukau arsitektural yang memesona dan kesejukan jiwa yang menyengat. (*)

* Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).