Oleh: Satria Sukananda, S.H., M.H.

RIBUAN mahasiswa di berbagai wilayah indonesia turun ke jalan dengan membawa misi menggagalkan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah merevisi sejumlah Undang-Undang. Demonstrasi besar-besaran ini terjadi pada tanggal 23 dan 24 September 2019.

Ada tujuh tuntutan yang dibawa para mahasiswa. Pertama mereka mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang sejumlah revisi undang-undang, khususnya KUHP, sebab, pasal-pasal dalam RKUHP dinilai masih bermasalah. Kedua, para mahasiswa mendesak pemerintah membatalkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberatasan Korupsi yang baru saja disahkan. Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dinilai membuat lembaga anti rasuah tersebut lemah dalam memberantas aksi para koruptor di negeri ini.

Ketiga, mahasiswa menuntut negara untuk mengusut dan mengadili elite-elite yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di wilayah Indonesia. Keempat, para mahasiswa menolak revisi Undang-Undang Ketanagakerjaan. Mereka menilai aturan tersebut tidak berpihak kepada para pekerja. Tuntutan kelima adalah tentang pembatalan revisi Undang-Undang Pertanahan. Mereka menilai aturan tersebut bukan merupakan tujuan dari semangat reforma agraria.

Keenam, mahasiswa meminta agar Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menunda pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Terakhir, mahasiswa mendorong proses demokrasi di Indonesia. Selama ini, negara dianggap melakukan kriminaliasi terhadap aktivis.

Gerakan demonstrasi mahasiswa sebagaimana telah dijelaskan jika dipandang dari sejarah reformasi dan hukum tentu mendapatkan justifikasi yang kuat. Era reformasi ditandai dengan konsep open ideology, yang salah satu komponen utamanya adalah “kebebasan berpendapat bagi setiap warga negara”.

Berpendapat secara umum dapat diartikan sebagai kemerdekaan menyampaikan pendapat maupun keadaan bebas dari tekanan untuk mengemukakan gagasan atau buah pikiran, baik secara lisan maupun tertulis yang dilakukan secara bebas dan bertanggung jawab.

Dalam kehidupan negara Indonesia pada era reformasi ini, seseorang yang mengemukakan pendapatnya atau mengeluarkan gagasannya dijamin secara konstitusional. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar konstitusi Indonesia memberikan jaminan (constitutional guarantee) dalam perlindungan (to protect), penghormatan (to respect), dan pemenuhan (to fulfil) terhadap kebebasan mengemukakan pendapat.

Dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan secara tegas bahwa “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Hal tersebut secara spesifik diatur pada Pasal 28E ayat (3) yang menyatakaan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Kedua pasal ini menjustifikasi bahwa Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar hukum tertinggi Indonesia memberikan jaminan bahwa mengemukakan pendapat adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum.

Dalam dunia internasional, kebebasan berpendapat diatur di dalam Universal Declaration of Human Rights pada pasal 19 yang berbunyi “Everyone has the right to freedom of opinion and expression, this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontier (setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dengan tidak mendapat gangguan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun juga dengan tidak memandang batas-batas).

Pasal “kebebasan berpendapat dan berekspresi” pada DUHAM PBB tersebut, kemudian diperkuat pada Resolusi Majelis Umum PBB 16 Desember 1966 melalui Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Ketentuan ini secara filosofis juga menjadi acuan MPR untuk menyusun BAB XA tentang Hak Asasi Manusia di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Melihat penjelasan di atas menunjukkan bahwa memang kebebasan berpendapat sangat dilindungi bahkan di lingkup internasional sekalipun.

Selanjutnya secara lebih spesifik ketentuan normatif menyampaikan pendapat di muka umum diatur di dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang tersebut Adapun bentuk penyampaikan pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan: (a) unjuk rasa atau demonstrasi, (b) pawai; (c) rapat umum; dan atau (d) mimbar bebas. Menilik ketentuan ini dapat diketahui bahwa demonstrasi merupakan salah satu bentuk penyampaian pendapat di muka umum. Selanjutnya Pasal 10 Undang-Undang tersebut mengatur tentang tata cara penyampaian pendapat di muka umum di mana harus dilakukan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pemberitahuan secara tertulis tersebut disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok. Pemberitahuan disampaikan selambat-lambatnya 3 x 24 jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat. Pemberitahuan secara tertulis ini tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.

Menilik penjelasan di atas sesungguhnya hukum nasional maupun hukum internasional telah mengatur sedemikian rupa untuk melindungi hak asasi manusia berkaitan dengan kebebasan berpendapat akan tetapi masih saja terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum. Kekerasan-kekerasan dalam penegakan hukum terhadap mahasiswa demonstran dan meninggalnya dua mahasiswa asal Kendari menjadi bukti terjadinya pelanggaran hukum terkait kebebasan berpendapat.

Sebab dari seluruh rangkaian peristiwa tersebut adalah ketidakjelasan irisan antara hak asasi manusia untuk menyatakan pendapat dan penegakan hukum itu sendiri. Penegakan hukum yang terlalu kaku seolah-olah dapat membelenggu makna asli dari kebebasan berpendapat yang secara rigid telah diatur oleh peraturan perundang-undangan, yang kemudian bermuara pada masalah baru berupa penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan tidak dijalankannya due process of law yang baik dan benar.

Hal ini sejalan dengan pendapat yang pernah dikemukakan oleh John Emerich Edward Acton bahwa “power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”.

Kondisi seperti ini sangat dikhawatirkan dapat berdampak pada masa yang akan datang saat semua warga negara akan sangat mungkin dilimitasi hak atas kebebasan berpendapatnya. Di mana letak hak asasi manusia pada masa itu? Padahal, kebebasan berpendapat pada negara demokrasi modern adalah suatu hal yang mutlak. Hal ini sejalan dengan pendapat John Stuart Mill Filsuf Inggris abad ke -17 yang gigih memperjuangkan kebebasan dan menegaskannya dalam kehidupan masyarakat demokrasi dalam pernyataannya yang berbunyi “Semakin luas kebebasan berekspresi dibuka dalam sebuah masyarakat atau peradaban maka masyarakat atau peradaban tersebut semakin maju dan berkembang”

Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat yang ke-16, juga mengemukakan hal yang sama bahwa proses demokrasi adalah proses pemerintahan dari rakyat (government of the people), Pemerintahan oleh rakyat (government by the people) dan pemerintah untuk rakyat (government for the people) kehadiran demokrasi tidak dapat tercapai jika kebebasan berpendapat terkungkung di dalam dogmatik penegakan hukum yang abu-abu.

Teori yang dikemukakan Lawrence M. Friedman dirasa paling tepat menjadi konklusi seluruh persoalan yang telah dijelaskan di atas. Friedman menggunakan tiga pendekatan yaitu subtansi perundang-undangan, struktur organisasi pengadaan beserta penegakannya, dan budaya hukum. Tiga pendekatan tersebut tidak dapat saling mengecualikan. Subtansi peraturan perundang-undangan di sebuah negara harus baik, begitu pun stuktur penegak hukumnya. Ketika dua pendekatan itu baik maka budaya sebagai sikap dan nilai yang berkaitan dengan hukum akan menjadi baik pula. Ketika tiga pendekatan tersebut dapat dijalankan dengan optimal maka kebebasan berpendapat di negeri ini dapat terlindungi. (*)

* Penulis adalah Peneliti Keluarga Alumni
Komisariat Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.