Jokowio vs Sandi

Oleh: Erros Djarot

LHO, koq bukan Jokowi versus Prabowo? Kalo Sandiaga Uno harusnya ya versus Ma’ruf Amin. Masalahnya bahasan kali ini bukan siapa yang bakal jadi presiden pada Kepemimpinan Nasional 2014-2019, sorotan kali ini lebih kepada siapa yang masih berpotensi dapat menambah perolehan suara di dua kubu yang tengah bertarung pada Pilpres 2019 ini. Jadi judul di atas merupakan cerminan dari realita di lapangan, bagaimana dua nama tersebut terbukti yang masih memiliki potensi untuk mendongkrak perolehan suara.

Kesimpulan sederhana ini tidak harus diartikan bahwa Prabowo tak memiliki potensi untuk menambah perolehan suara buat kubunya. Perolehan dukungan suara pada Pilpres 2014 sudah merupakan modal besar yang cukup signifikan. Namun berdasarkan pengamatan, suara yang cukup banyak ini, agaknya berhenti di satu titik oleh beberapa faktor. Faktor utama masalah kebiasaan masyarakat yang selalu cenderung lebih senang bercengkrama dengan sesuatu yang baru. Apa lagi yang baru, enerjik dan fresh, plus menarik.

Dalam kaitan ini, kehadiran Sandi, merupakan faktor penyegar yang cukup berpotensi meningkatkan perolehan suara untuk kubu Prabowo-Sandi. Sementara Prabowo terlalu banyak dikurung untuk sibuk berkutat membersihkan sederet negative list yang melilit dirinya. Kesibukan melakukan klarifikasi tentang masa lalunya dan perilaku over reaktifnya, sering kali justru malah merugikannya. Ia masih untung tertolong karena para pendukung Paslon No.1 begitu masif menyerang Prabowo hingga level kehidupan pribadinya. Sehingga simpati kepada Prabowo malah bertumbuh.

Kalo toh masih ada himbasan peningkatan dukungan suara, hal ini terjadi bukan karena ulah positif pribadi Prabowo, tapi lebih dipicu karena nafsu besar pihak pendukung fanatik Paslon No.1 yang kurang membaca kejiwaan rakyat Indonesia yang tidak suka menyaksikan orang dikuyo-kuyo. Hal mana digunakan oleh para loyalis Cendana untuk melebarkan sayap simpatik rakyat kepada kubu Paslon No.2. Sekaligus mereka pun meluaskan dukungan kepada Partai Berkarya besutan putra-putri Pak Harto. Sayangnya manuver yang dilakukan pendukung Cendana agak berlebih sehingga menjadi malah kurang efektif.

Memperhatikan fenomena yang demikian, maka per hari ini, kesimpulan sederhana yang secara amatan pribadi saya ambil; dukungan suara terhadap kubu Paslon No.2 lewat figur Prabowo, sudah tidak lagi signifikan. Berbeda dengan hadirnya figur Sandi yang fresh dan cukup giat turun ke pelosok-pelosok kota, perkampungan, dan desa. Walau pada awal banyak melakukan ‘ketidak pas-an’ yang mengundang berbagai cemooh, hari demi hari agaknya Sandi cukup belajar dari kesalahan. Belakangan ini ia semakin menjadi bertambah pandai untuk menarik simpatik publik. Terutama tentunya kaum ibu alias emak-emak, dan terutama tentunya ibu-ibu muda. Bukan karena dia hebat, hanya karena murah senyum, lincah berkomunikasi, enak dan nyaman dilihat. Suatu peristiwa interaksi antar manusia yang sangat manusiawi.

Sangat berbeda dengan apa yang terjadi di kubu Paslon No.1. Figur Jokowi masih tetap menjadi magnet sangat dahsyat dan menjadi faktor penentu utama bertambah dan berkurangnya perolehan suara dukungan para Pilpres 2019. Kehadiran Ma’ruf Amin yang diharapkan dapat mendongkrak perolehan dukungan suara dari komunitas kaum Nahdliyin, sampai hari ini secara signifikan belum menunjukan gerak angka yang dirasakan peningkatannya. Bahkan kehadiran Erick Tohir yang diharapkan dapat menjadi lokomotif penggerak kaum millennial, tetap saja tidak terlalu berarti bila dibandingkan gerak seorang Jokowi yang sanggup menembus batas umur, profesi dan suku.

Sehingga gerak, eksistensi dan manuver Jokowi sebagai sentral figur, menjadi faktor tunggal yang menentukan segalanya berkaitan dengan hasil Pemilu Pilpres 2019. Jokowi seakan bergerak sendiri tanpa dukungan yang signifikan dari faktor eksternal di luar dirinya. Sehingga menjaga jangan sampai Jokowi melakukan kesalahan fatal, merupakan strategi paling mendasar yang harus dicanangkan di kubu Paslon No.1 dalam melakukan kampanye pilpres yang kurang dari 100 hari ke depan.

Sejauh ini, selama Jokowi tidak melakukan kesalahan yang bersifat fatal, atau fihak oposisi bisa menunjuk hal kesalahan dimaksud dan publik menerimanya, rasanya hasil pilpres sudah mulai bisa terbaca. Walau faktor Sandi merupakan hal yang cukup menarik untuk diperhatikan agar tidak dilihat sebelah mata. Pilgub DKI Jakarta telah memberi sinyal akan hal ini. Hal yang juga oleh seorang jagoan quick-count sekaliber dedengkot pendiri Lembaga Survei Indonesia (LSI) sekalipun, tidak dimasukkan dalam hitungan. Ternyata ia salah dan kalah yang mempermalukan dirinya sendiri sebagai ‘juru ramal’ profesional! (watyutink/*)