Penegakan Hukum

Oleh: Fadil Aulia

FIAT Justitia et Pereat Mundus. Postulat ini menekankan bahwa meski langit runtuh, hukum harus ditegakkan. Artinya, dalam keadaan apapun, hukum itu harus ditegakkan oleh aparat penegak hukum yang berwenang. Setidaknya postulat ini sangat erat kaitannya dengan kasus yang baru-baru ini terjadi dan menghebohkan masyarakat luas. 

Kasus penolakan laporan oleh oknum Polisian Sektor di daerah Rawamangun, Jakarta Timur. Penolakan laporan tersebut dialami oleh seorang warga yang menjadi korban daripada tindak pidana perampokan. Awal mula penolakan laporan berawal dari seorang warga yang menjadi korban daripada tindak pidana perampokan, kemudian melaporkan peristiwa yang terjadi (dialaminya) ke Polsek di daerah Rawamangun. Sesampainya di Polsek anggota polisi yang bertugas justru menyarankan agar korban pulang dan menenangkan dirinya tanpa memproses sama sekali laporan dari korban tersebut. 

Tindakan penolakan laporan oleh oknum polisi tersebut tentunya menimbulkan banyak kecaman dari berbagai pihak. Hal tersebut tidak terlepas dari anggapan bahwa seharusnya polisi yang berwenang sebagai penyelidik dan/atau penyidik menegakkan hukum yang ada dengan menerima dan memproses laporan yang diajukan kepadanya, bukan menolaknya.

Secara normatif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia pada dasarnya mengatur bahwa untuk mengetahui bahwasanya telah terjadi suatu tindak pidana dapat diketahui dari tiga kemungkinan. Pertama, kedapatan tertangkap tangan (Pasal 1 butir 19 KUHAP). Kedua, karena adanya laporan (Pasal 1 butir 24 KUHAP). Ketiga, karena adanya pengaduan (Pasal 1 butir 25 KUHAP).

Laporan
Laporan merupakan salah satu bentuk untuk bisa diketahuinya oleh aparat penegak hukum bahwa telah atau sedang atau akan terjadi suatu tindak pidana. Atas dasar adanya laporan tersebutlah salah satunya penegak hukum bisa melakukan penegakan hukum. 

Laporan sendiri berdasarkan Pasal 1 butir 24 KUHAP ialah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Laporan pada dasarnya dapat dilakukan oleh seseorang yang menjadi korban daripada suatu tindak pidana ataupun oleh seseorang yang bukan korban dari tindak pidana akan tetapi mengetahui telah terjadi suatu tindak pidana.

Berangkat dari penjelasan tersebut dapatlah diketahui bahwa tindakan pelaporan ke Polsek daerah Rawamangun yang dilakukan oleh seorang warga yang menjadi korban daripada tindakan perampokan sebagaimana kasus a quo diatas merupakan tindakan yang telah sesuai dengan prosedur hukum yang ada. KUHAP secara normatif memberikan hak kepada korban tindak pidana ataupun seseorang yang mengetahui telah terjadinya suatu tindak pidana untuk melapor ke pejabat yang berwenang dalam hal ini penyelidik ataupun penyidik.

Di sisi lain, penerimaan laporan merupakan wewenang karena kewajibannya dari pihak kepolisian baik dalam posisinya sebagai penyelidik ataupun penyidik. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a ke-1 dan Pasal 7 ayat (1) huruf a. Lebih lanjut, Yahya Harahap menegaskan bahwa baik penyelidik ataupun penyidik mempunyai hak dan kewajiban untuk menindaklanjuti laporan yang masuk dari seseorang. Artinya seorang polisi mempunyai kewajiban untuk menerima laporan yang masuk kepadanya mengenai terjadinya suatu tindak pidana. Sehingga penolakan laporan oleh oknum kepolisian tersebut patut dipertanyakan.

Adanya kewajiban penyelidik dan/atau penyidik untuk menerima laporan atas terjadinya suatu tindak pidana tersebut menjadi dasar daripada tidaklah seharusnya penyelidik dan/atau penyidik menolak laporan yang diajukan kepadanya. Penolakan laporan yang dilakukan oleh oknum polisi yang sedang bertugas sebagaimana yang ada dalam kasus a quo merupakan suatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang polisi sebagai penegak hukum. Terlebih lagi penolakan  laporan yang dilakukan oleh oknum polisi yang bertugas tersebut tidak berdasar sama sekali. Secara normatif jelas tindakan penolakan laporan yang dilakukan merupakan tindakan yang tidak diperkenankan oleh undang-undang.

Praktik Buruk Penegakan Hukum
Penolakan laporan yang dilakukan oleh oknum kepolisian tersebut merupakan praktik buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Laporan yang merupakan pintu awal penegakan hukum terhadap suatu tindak pidana seharusnya mendapat perhatian serius dari aparat penegak hukum. Kepolisian sebagai aparat penegak hukum khususnya dalam tahap penyelidikan dan penyidikan yang bersinggungan langsung dengan laporan seharusnya berperan lebih aktif ketika ada laporan dari masyarakat.

Praktik buruk penegakan hukum berupa penolakan laporan tersebut tentunya akan membawa dampak terhadap beberapa hal. Pertama, penolakan laporan membuat seorang korban menjadi korban untuk kedua kalinya. Hal ini yang oleh Petrus Richard Sianturi disebut dengan “Viktimisasi Bertingkat”. Tahap pertama menjadi korban untuk tindak pidana perampokan. Tahap kedua menjadi korban dari perilaku aparat penegak hukum. Kurangnya perhatian aparat penegak hukum terhadap laporan dari korban tindak pidana memperlihatkan bahwa penegakan hukum yang ada tidak berorientasi kepada korban.

Kedua, penolakan laporan berdampak kepada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di negeri ini khususnya terhadap aparat penegak hukum. Akibatnya masyarakat menjadi enggan untuk melapor ketika terjadi suatu tindak pidana. Hal ini tentu saja membawa citra yang buruk terhadap penegakan hukum di Indonesia. Ketiga, penolakan laporan berdampak kepada terciderainya tujuan hukum itu sendiri yaitu sebagai pelindung kepentingan manusia. Apabila hukum sebagai pelindung kepentingan manusia tidak dapat dilaksanakan atau ditegakkan maka tidak ada artinya hukum itu sebagai perlindungan kepentingan. Hukum hanyalah sebatas teks pasif ketika terjadi suatu tindakan yang dilarang oleh hukum tetapi tidak bisa ditegakkan oleh aparat penegak hukum.

Dengan demikian, untuk menghindari praktik buruk penegakan hukum berupa penolakan laporan oleh pejabat dalam hal ini penyelidik dan/atau penyidik Polri sebagai institusi yang berhubungan langsung dengan penerimaan laporan harus melakukan pembenahan secara serius terhadap aparaturnya dalam kaitannya dengan penerimaan laporan sampai kepada tahap Kepolisian Sektor (Polsek). Bukan tidak mungkin kasus yang sama akan terulang kembali jika tidak ada pembenahan. (*)

* Penggiat Hukum Pidana.