M Fuad Nasar

Kastara.ID, Jakarta – Sehari setelah Peringatan 75 Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 2020, bangsa Indonesia memperingati Hari Konstitusi tanggal 18 Agustus. Pemerhati sejarah yang juga Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf M. Fuad Nasar mengatakan bahwa konsensus bernegara paling fundamental bagi bangsa Indonesia yang tercapai pada 18 Agustus 1945 ialah kesepakatan mengenai dasar negara.

“18 Agustus 1945 adalah momentum kesepakatan dasar negara. Pancasila dipandang sebagai pemersatu keragaman bangsa dalam tataran konseptual dan aktual,” jelas Fuad di Jakarta, Selasa (18/8).

“Rumusan otentik Pancasila tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disahkan dalam rapat besar Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sehari setelah proklamasi,” lanjutnya.

Menurut Fuad Nasar, Pancasila adalah ideologi modern yang merangkum nilai-nilai universal dan merefleksikan jatidiri bangsa Indonesia. Pancasila juga merefleksikan nilai-nilai agama. Karena itu ia merupakan ideologi yang harus berperan memandu perjalanan bangsa melangkah ke depan, bukan ideologi yang membawa mundur ke belakang. Penempatan lima prinsip dasar negara dalam mukaddimah konstitusi negara Republik Indonesia memiliki makna bahwa nilai-nilai substantif Pancasila harus tercermin pada setiap keputusan negara dan kebijakan pemerintah.

“Pancasila berfungsi sebagai alat koreksi pembangunan supaya tidak melenceng dari tujuan bernegara dan cita-cita perjuangan kemerdekaan,” jelasnya.

Fuad Nasar lalu mengutip tulisan Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama RI Mohammad Hatta. Disebutkan bahwa pemikiran Ir. Soekarno tentang lima sila yang bersifat kompromistis, dapat meneduhkan pertentangan yang mulai tajam antara pendapat yang mempertahankan Negara Islam dan mereka yang menghendaki dasar negara sekuler, bebas dari corak agama.

Mohammad Hatta dalam buku Pengertian Pancasila, lebih jauh menjelaskan, dengan perubahan urutan Pancasila, di mana Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, berarti meletakkan fundamen moral di atas fundamen politik. Dengan meletakkan dasar moral di atas, negara dan pemerintahannya memperoleh dasar yang kokoh, yang memerintahkan berbuat benar, melaksanakan keadilan, kebaikan dan kejujuran serta persaudaraan ke luar dan ke dalam.

Dengan politik pemerintahan yang berpegang kepada moral yang tinggi, dicitakan tercapainya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keputusan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sehari setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945 dengan perubahan tujuh kata yaitu kalimat ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Isalam bagi pemeluk-pemeluknya.

“Mohammad Hatta dalam buku Memoir-nya menyebut pencoretan tujuh kata itu sebagai toleransi pemimpin-pemimpin Islam,” terang Fuad Nasar.

“Perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada waktu itu tidak menghilangkan substansi hubungan negara dan agama yang telah terpatri dalam konstitusi negara kita. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ditegaskan; (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu,” imbuhnya.

Fuad Nasar mensitir ungkapan Letjen TNI (Purn) Alamsjah Ratu Perwiranegara, Menteri Agama periode 1978-1983 bahwa Pancasila adalah pengorbanan dan hadiah terbesar umat Islam untuk persatuan dan kemerdekaan Indonesia. Sejalan dengan penegasan Alamsjah di atas, patut digarisbawahi, bahwa para pemimpin dan umat Islam menerima dasar negara Pancasila bukan karena alasan politis dan taktis, melainkan karena alasan teologis dan prinsip. Bahwa tidak ada satu pun di antara kelima sila yang bertentangan dengan akidah dan syariat Islam. Begitulah gambaran umum pandangan mainstream umat Islam Indonesia terhadap Pancasila.

“Oleh karena itu, semua elemen dan elite bangsa harus mampu berpikir jernih dan bebas dari dendam masa lalu dalam memahami dan memaknai kedudukan Pancasila dan kedudukan agama secara konstitusional. Diskursus hubungan Pancasila dan agama sejatinya telah selesai bagi bangsa Indonesia semenjak 18 Agustus 1945 dan kemudian dikukuhkan kembali dengan Dekrit Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 yaitu kembali ke UUD 1945,” tuturnya.

“Persoalan terpenting adalah melaksanakan Pancasila itu secara murni dan konsekuen dalam rangka mengisi kemerdekaan. Mengutip pesan Bung Hatta bahwa Indonesia Merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia Merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat,” pungkasnya. (put)