Oleh: Muhammad AS Hikam

Presiden Jokowi kelihatannya sedang menjalin ‘kemesraan politik’ tingkat tinggi dengan Prabowo Subianto, petinggi Partai Gerindra, yang juga mantan Pangkostrad TNI-AD dan Danjen Kopassus itu. Kehadiran Prabowo ke Istana ini adalah sebagai kunjungan balasan beliau kepada RI-1, yang telah lebih dulu mengunjungi Hambalang tempo hari sebelum demo 411 digelar.

Bagi saya, bukan kunjungan balasan Prabowo atau pernyataan kedua pemimpin politik dalam kunjungan itu benar yang menarik untuk dicermati. Tetapi pertanyaan yang muncul setelah membaca berita ini, yaitu: “Mengapa Presiden Jokowi mengundang Prabowo Subianto, bukan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)?” Pertanyaan ini penting saya kira karena SBY baru sempat bertemu dengan Menkopolhukam Wiranto dan Wapres JK, dan setelah itu membuat pertemuan pers di Cikeas dan menyampaikan pidato “Lebaran Kuda” yang terkenal itu, hanya beberapa hari sebelum 411. Kita kemudian membaca pernyataan Presiden Jokowi bahwa demo yang damai tersebut berakhir ricuh karena ada pihak-pihak yang menungganginya.

Pertanyaan pun muncul di ruang publik mengenai siapa dan/atau pihak mana yang ditengarai sebagai penunggang demo yang konon terbesar dalam sejarah republik itu. Tentu saja yang paling mudah adalah lawan-lawan politik Presiden Jokowi dan dalam spekulasi publik dan media termasuk SBY dan/atau Prabowo yang merupakan pimpinan oposisi. Nah, jika Presiden Jokowi malah menjalin kemesraan politik dengan Prabowo dan belum mengundang SBY untuk bertemu, apakah lalu spekulasi tentang sang penunggang itu arahnya kepada yang disebut terakhir itu? Wallahua’lam. Sebab pihak Istana tidak pernah memberikan jawaban yang transparan.

Yang jelas di media nasional dan bahkan internasional, ihwal keterkaitan SBY dalam demo dan kasus Ahok makin mendapat sorotan. Bukan hanya itu, bahkan ada pihak-pihak yang melaporkan Ketum DPP Partai Demokrat (PD) tersebut ke Bareskrim dengan tuduhan pidatonya pada 2 November 2016 dinilai mengandung hasutan dan menyebar kebencian, serta pernyataan dorongan terhadap umat Islam untuk tetap berdemonstrasi.

Jadi pertanyaan mengapa SBY tidak dikunjungi atau diundang Presiden Jokowi untuk bertemu bisa berpotensi memperluas spekulasi politik tersebut, dan, menurut hemat saya, tidak seharusnya terjadi. Saya kira Presiden Jokowi perlu juga melakukan silaturrahim ke Cikeas ataupun mengundang mantan Presiden ke-6 tersebut ke Istana, untuk menunjukkan kepada rakyat Indonesia bahwa spekulasi tentang adanya ketegangan antara kedua pemimpin tersebut tidak benar. Dan ini juga akan membantu pendinginan suasana yang sempat panas dan yang bisa jadi akan memanas apabila pihak-pihak yang menginginkan destabilitas nasional terjadi memanfaatkan spekulasi tersebut.

Dan saya yakin Presiden Jokowi sudah menunjukkan kepiawaian berkomunikasi politik dengan “blusukan ke atas” yang ternyata berbuah sukses itu. (*)