Uighur

Kastara.ID, Jakarta – Keberadaan suku Uighur di Provinsi Xinjiang, China, terus menjadi sorotan internasional, terutama setelah pemerintah Tiongkok diduga menahan lebih dari satu juta etnis minoritas Muslim itu di tempat penampungan layaknya kamp konsentrasi.

Laporan penahanan sewenang-wenang itu mencuat setelah kelompok pegiat hak asasi manusia, Human Rights Watch, merilis laporan pada September 2018 lalu, yang berisikan dugaan penangkapan sistematis yang menargetkan etnis Uighur di Xinjiang.

Selain itu, berdasarkan kesaksian sejumlah warga Uighur di Xinjiang, pihak berwenang China telah melakukan penahanan massal terhadap Uighur dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang sejak 2014 lalu. Informasi tersebut juga diperkuat dengan laporan independen yang didapat Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang dirilis Agustus lalu menyebut China menahan hampir 1 juta anggota etnis Uighur di kamp-kamp pengasingan, di mana mereka didoktrin pendidikan politik oleh pemerintah.

Sementara dari sisi China membantah keras tudingan pelanggaran HAM terhadap suku Uighur itu. Beijing berdalih mereka hanya menampung warga Uighur dalam sebuah program pelatihan vokasi, bukan kamp penahanan.

Pemerintah China telah puluhan tahun diduga mengontrol ruang gerak etnis Uighur hingga membatasi hak mereka melakukan aktivitas keagamaan, seperti larangan berpuasa dan masyarakat Uighur juga dilarang memberi nama anak-anak mereka dengan nama-nama Islam, termasuk nama ‘Muhammad’ dan ‘Medina’, serta larangan berhijab dan berjanggut.

Pada Maret 2017 lalu pemerintah daerah Xinjiang meloloskan Undang-Undang anti-ekstremisme yang melarang orang-orang menumbuhkan janggut dan kerudung di tempat publik.

Meski pemerintah resmi mengakui agama Buddha, Katolik, Daoisme, Islam, dan Kristen Protestan, di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, China telah mengatur agar semua agama sesuai dengan doktrin komunis dan kebiasaan masyarakat etnis mayoritas Han. (rso)