Kastara.ID, Bandung — Walau Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri sudah diimplementasikan lebih dari dua dekade, tetapi pendaftaran desain industri di Indonesia terutama yang berasal dari individu dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) masih sangat minim. Saat ini, pemohon desain Industri ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), terbanyak diajukan Perguruan Tinggi. Itu pun masih harus ditingkatkan lagi.

Anggota DPD RI yang juga pembina berbagai UMKM Fahira Idris mengungkapkan, pelaku UMKM di Indonesia terutama Pengrajin/Pendesain masih sangat minim pemahaman terkait pendaftaran hak atas desain industri. Selain itu, masih ada kekhawatiran dari pelaku UMKM bahwa jika sudah mengurus perizinan desain industri, mereka akan dibebani pajak yang tinggi.

“Pendaftaran desain industri terutama oleh pelaku UMKM masih sangat minim. Padahal, hak desain industri tidak hanya diperuntukkan bagi industri atau usaha besar, tetapi juga diperuntukkan bagi UMKM. Selain karena sosialisasi yang belum masif, kesadaran akan manfaat ekonomis dan yuridis dari pendaftaran hak atas desain industri masih belum terbangun,” ujar Fahira Idris di sela kunjungan kerja DPD RI dalam rangka pengawasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri di Bandung, Jawa Barat (19/6).

Masih sangat minimnya pendaftaran, lanjut Fahira Idris, juga karena para pelaku UMKM belum mempunyai biaya atau modal untuk mendaftarkan desain industrinya.

“Akibatnya, banyak terjadi pembajakan yang dampaknya merugikan pelaku UMKM itu sendiri,” tukasnya.

Menurut Fahira Idris, setidaknya ada tiga situasi yang menyebabkan ketentuan Undang-Undang No 31 tahun 2000 tentang Desain Industri, khususnya yang berkaitan dengan pendaftaran hak atas karya desain industri masih belum efektif dilaksanakan.

Pertama, kurangnya pemahaman para pendesain tentang keberadaan UU Desain Industri dan masih banyak yang tidak mengetahui bahwa sistem perlindungannya menganut sistem pendaftaran first to file atau siapa yang lebih dahulu mendaftar. Kedua, masih terdapat sebagian masyarakat pendesain yang sudah mengetahui tentang UU Desain Industri ini, tetapi merasa belum membutuhkannya.

Ketiga, faktor budaya hukum masyarakat Indonesia yang bersifat komunal, sangat berbeda dengan sistem yang melandasi perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) yang berakar dari budaya hukum negara-negara Barat yang menganut konsep perlindungan hukum individual right.

“Budaya hukum komunal ini juga menjadi tantangan tersendiri. Ini karena cenderung menyulitkan penegakan hukum HKI. UU Desain Industri ini juga belum sepenuhnya efektif karena pemahaman para penegak hukum tentang substansi dan keberadaan ketentuan hukum Desain Industri masih belum optimal. Faktor kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan Undang-Undang Desain Industri juga menjadi faktor utama,” pungkas Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta ini. (dwi)