Kemerdekaan

Oleh: Erros Djarot, Budayawan

Kemerdekaan yang telah kita rayakan selama 73 tahun ini, ternyata menghasilkan dua jenis kemerdekaan. Yang ideal adalah kemerdekaan yang memerdekakan seperti diamanatkan oleh cita-cita kemerdekaan. Kemerdekaan yang kita miliki harus diisi oleh kerja, perbuatan, dan ulah kita sebagai bangsa sehingga hasil akhirnya benar-benar memerdekakan kita sebagai bangsa dapat secara bersama menikmati hikmah kemerdekaan.

Contoh yang paling sederhana ketika sejumlah rakyat di daerah-daerah terpencil Papua berhasil dimerdekakan dari keterisolasian mereka selama berpuluh tahun. Kerja negara telah memerdekan mereka dari keterasingan dan ketertinggalan dengan mempersembahkan infrastuktur (jalan dan angkutan) yang membuat mereka bisa mengenyam dan menikmati hikmah kemerdekaan. Lampu penerang yang berpuluh tahun mereka tidak pernah miliki, mereka dapatkan sehingga memerdekakan mereka dari kehidupan yang serba gelap saat malam tiba.

Mengisi kemerdekaan yang memerdekakan oleh pemerintahan Jokowi ini, menjadi sah untuk kemerdekaan dimaknai sebagai Jembatan Emas menuju Indonesia yang sejahtera –makmur dalam keadilan, dan adil dalam kemakmuran. Sebagaimana cita-cita Indonesia merdeka. Merdeka yang memerdekakan rakyat dari penderitaannya.

Di sisi lain, kemerdekaan yang diharapkan menjadi Jembatan Emas untuk menggapai kesejahteraan hidup di alam merdeka, masih merupakan khayalan bagi mayoritas rakyat Indonesia. Kemerdekaan yang mereka rasakan, justru bukan yang memerdekakan, tapi sebaliknya justru yang malah memenjarakan mereka. Karena kemerdekaan hanya dapat sepenuhnya dinikmati dan digunakan oleh sekelompok kecil masyarakat. Kemerdekaan untuk melakukan apa saja, sepenuhnya diberikan kepada segelintir warga khusus ini yang selanjutnya digunakan mereka untuk hanya memerdekakan diri dan kelompoknya; yang berakibat memenjarakan mayoritas rakyat dalam ketidak-berdayaan dan kemiskinan yang melumpuhkan. Hal mana  sangat terasa dalam kehidupan perekonomian bangsa ini sejak pemerintahan Orde Baru berkuasa.

Sampai detik tulisan ini diturunkan, masih saja 10 gelintir manusia yang berpredikat konglomerat (anehnya mayoritas berasal hanya dari satu ras tertetu), kekayaannya melebihi kekayaan yang digabungkan dari seratus juta rakyat Indonesia. Karena oleh penguasa mereka diberikan kemerdekaan untuk semerdeka mungkin mengembangkan usaha, memperkokoh kerajaan bisnis mereka. Kemerdekaan mereka ini telah memenjarakan ratusan juta rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan.

Apakah kemerdekaan yang mereka dapatkan datang begitu saja dari langit? Tidak! Para penguasa, sejak Orde Baru berkuasa, telah memberi berbagai fasilitas dan kemudahan kepada kelompok usaha dari satu ras kasta tertinggi ini yang dianggap paling bisa diajak untuk melakukan pengerukan kekayaan yang dimiliki negeri ini untuk mereka nikmati bersama. Kolusi antara punguasa dan pengusaha pun menjadi budaya dalam mengelola kekuasaan oleh setiap rezim sejak Orba hingga entah kapan berakhir. Pemerintah seperti bertindak sebagai dewan ‘pembimbing’ sekaligus institusi ‘pesuruh’ yang setia.

Kemerdekaan pun semakin jauh dari tangan pemerintah untuk mengatur perekonomian yang memerdekakan rakyat dari ‘perbudakan’ ekonomi oleh ‘kaum penjajah’ bangsa sendiri (baca: segelintir manusia dari ras tertentu). Rakyat pun tetap saja terpenjara dalam kemiskinan dan pemiskinan yang berlanjut. Inilah salah satu bentuk kemerdekaan yang memenjarakan!

Hal yang sama terjadi di dunia politik. Kemerdekaan para politisi-oligarki yang bermuara pada para Ketua Umum partai, telah begitu merdeka untuk memenjarakan kedaulatan rakyat melalui permainan politik konstitusi yang memberi kemerdekaan penuh kepada mereka untuk bertindak atas nama kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat yang terpenjarakan oleh kemerdekaan yang memenjarakan ini telah diperagakan dengan sempurna pada saat pemilihan Cawapres untuk Pemilu Pilpres 2019. Rakyat yang terpenjara dalam hanya dua pilihan figur calon capres-cawapres, merupakan bentuk pemiskinan dan sekaligus tragedi politik yang sangat menyedihkan!

Apa kemerdekaan yang memenjarakan seperti ini yang mau terus kita pelihara dan lanjutkan? Mengapa tidak kita pertanyakan ini pada kedua capres-cawapres kita yang akan bertarung pada Pilpres 2019. Jawaban merekalah yang harus kita jadikan alasan untuk memilih. Bukan malah memperlebar ruang saling mem-bully antar pendukung calon, karena terjebak pada figure oriented, bukan program, capaian, dan bukti rekam jejak politik dan kepemimpinannya!

Siapa yang sanggup menyudahi kemerdekaan yang memenjarakan, dialah yang layak bahkan wajib kita pilih! (watyutink)