First Travel

Oleh: Fadil Aulia

PROPTER Veritatem et Justitiam. Artinya, Demi Kebenaran dan Keadilan. Demikian bunyi suatu postulat dalam doktrin hukum. Beberapa hari terakhir ini masyarakat pada umumnya dikejutkan dengan putusan Mahkamah Agung terkait dengan kasus First Travel. Menariknya di sini poin yang menjadi pembicaraan dari putusan tersebut ialah bukan mengenai vonis yang dijatuhkan terhadap Terdakwa kasus First Travel tersebut, akan tetapi yang menjadi perdebatan adalah mengenai aset milik terdakwa kasus First Travel yang disita oleh negara.

Dalam putusan Mahkamah Agung tersebut dinyatakan bahwa aset yang disita oleh negara tersebut dirampas untuk negara. Perampasan aset untuk negara tersebut setidaknya menjadi persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat, khususnya bagi korban dari pada First Travel itu sendiri. 

Mengenai kedudukan benda sitaan dalam hukum acara pidana, itu pada dasarnya dapat dilakukan beberapa perlakuan terhadapnya. Pertama, benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita.

Kedua, benda yang dikenakan penyitaan diberikan kepada mereka yang paling berhak. Ketiga, benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut. Dan keempat, benda yang dikenakan penyitaan tersebut dirampas untuk negara.

Mengenai point yang keempat, dalam Pasal 46 KUHAP Jo Pasal 194 KUHAP benda yang dirampas untuk negara tersebut dapat digunakan untuk kepentingan negara, dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.

Jika dilihat dari aspek legalitas dan kepastian hukum maka tidak ada yang salah dari putusan Mahkamah Agung tersebut. Tidak ada aturan hukum yang dilanggar dengan diputuskan bahwa aset milik First Travel tersebut dirampas untuk negara. Akan tetapi, yang menjadi persoalannya adalah hukum pada dasarnya tidak hanya berbicara mengenai kepastian hukum semata. Ada tiga nilai dalam hukum yang tidak boleh dinafikan keberadaannya, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.

Di sisi lain juga sebenarnya hakim sendiri bisa memilih menjatuhkan putusan terhadap benda sitaan tersebut dengan mengembalikan aset yang disita tersebut kepada mereka yang paling berhak yaitu korban dari kasus First Travel tersebut. Karena hakikatnya pemilik dari pada aset yang disita tersebut adalah semua korban dari pada kasus First Travel tersebut. Putusan seperti ini lebih memenuhi nilai dari pada tujuan hukum itu sendiri. Meskipun nantinya aset yang ada tersebut tidak bisa mengembalikan uang mereka secara utuh, tapi setidaknya hak mereka telah dikembalikan.

Tidak dikembalikannya benda sitaan berupa aset First Travel tersebut kepada para korban kasus First Travel tersebut telah menjadikan korban tersebut menjadi korban lagi, yang dalam kajian Victimology disebut dengan Reviktimisasi. Mereka-mereka yang awalnya sudah menjadi korban dari pada kejahatan pemilik First Travel kemudian berharap melalui lembaga penegak hukum yang ada untuk mengembalikan hak mereka kembali, tapi ternyata harapan untuk memulihkan keadaan tersebut berbanding terbalik dengan adanya putusan Mahkamah Agung yang memperkuat putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi sebelumnya yaitu benda sitaan dirampas untuk negara.

Dengan dirampasnya benda sitaan berupa aset tersebut untuk negara membuat mereka menjadi korban lagi dari putusan pengadilan tersebut. Dan doktrin hukum demi kebenaran dan keadilan sebagaimana yang disebutkan di atas sama sekali dikesampingkan.

Lalu bagaimana?
Kurangnya perlindungan terhadap korban dalam hukum pidana sekarang ini sangat berdampak sekali kepada putusan-putusan pengadilan. Putusan Mahkamah Agung yang merampas aset untuk negara tersebut jelas tidak berpihak kepada korban. Bahkan putusan tersebut menciptakan reviktimisasi. Korban seharusnya menjadi obyek yang vital, menjadi poin yang diperhitungkan dalam berhukum. Pengadilan dan bahkan negara seharusnya memberikan perlindungan terhadap korban.

Untuk menunjukkan keseriusan negara dalam memberikan perlindungan terhadap korban, setidaknya ada dua poin yang bisa dilakukan oleh negara. Pertama, negara menerima uang hasil dari pelelangan aset yang dilakukan oleh pihak kejaksaan sebagai eksekutor dari pada putusan pengadilan kemudian uang hasil dari lelang aset tersebut diberikan secara proporsional kepada korban first travel tersebut dalam bentuk kompensasi. Kedua, negara menolak uang hasil dari pelelangan aset yang dilakukan oleh kejaksaan dengan membuat berita acara penolakan yang kemudian memerintahkan kementerian keuangan untuk membuat tim khusus yang bertugas mendata korban dan membagikan uang hasil lelang tersebut secara proporsional kepada para korban.

Jika hal tersebut tidak dilakukan oleh negara, berarti semangat negara dalam memberikan perlindungan terhadap korban terbilang lemah. Dan publik akan tetap mengingat bahwa negara belum mempunyai keseriusan yang kuat dalam memberikan perlindungan terhadap korban. (*)

* Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada.