Kepala Desa
Oleh: Anang Zubaidy, SH., MH

HARUS dipastikan terlebih dahulu siapa penyelenggara Silaturahmi Nasional Pemerintah Desa Se-Indonesia ini. Kalau penyelenggaranya pemerintah, sebenarnya dalam pelaksanaan tugas pemerintahan tidak masalah melakukan koordinasi dengan jajaran pemerintahan bahkan sampai ke pemerintahan di tingkat desa.

Hanya saja kesan yang muncul terkait kegiatan ini adalah mobilisasi terhadap aparatur pemerintah desa. Lebih miris lagi, kalau sampai ada upaya politisasi untuk mendukung capres yang kebetulan petahana.

Itu memang jadi problem dalam penyelenggaran pemilu di Indonesia. Di satu sisi, petahana punya kewajiban untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Tapi di sisi lain, tidak ada kewajiban bagi petahana untuk cuti selama masa kampanye. Sehingga bercampur antara kepentingan dia sebagai Presiden dalam melaksanakan kewajibannya juga kepentingan yang bersangkutan sebagai calon presiden untuk meraih dukungan.

Tetapi yang dilihat publik terkait rencana Silaturahmi Nasional Pemerintah Desa Se-Indonesia pada 30 Maret-3 April 2019, adalah upaya menggali dukungan. Kenapa? Karena momentum pelaksanaannya sangat dekat dengan momentum pelaksanaan Pemilu 2019.

Alasan kedua, yang dimobilisir itu seluruh perangkat desa. Dan kita tahu, mayoritas pemilih itu tinggal di desa. Sehingga sangat potensial silaturahmi ini sebagai upaya melakukan penggiringan opini bahwa petahana didukung oleh masyarakat desa. Terlebih lagi, sampai ada embel-embel rencana untuk memberikan anugerah ‘Bapak Pembangunan Desa’.

Apakah rencana kegiatan tersebut bisa dianggap sebagai pelanggaran pemilu? Pasal 282 UU Pemilu menyatakan, pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional jabatan negeri serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.

Kalau beleid itu dibaca secara letterlijk, memang kita tidak bisa menemukan apa maknanya sesungguhnya. Terlebih lagi, tidak dijelaskan dalam “penjelasan pasal”, karena pembentuk undang-undang menganggap maksud Pasal 282 UU Pemilu sudah cukup jelas.

Padahal sebenarnya, makna “menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye” masih sumir. Terutama mengenai “tindakan menguntungkan atau merugikan”, karena tidak bisa diukur indikatornya. Tetapi kalau “keputusan menguntungkan atau merugikan” saya pikir bisa diukur, misalnya, terkait pembuatan keputusan mengenai A, B, C, dan lain sebagainya.

Terkait rencana Silaturahmi Nasional Pemerintah Desa Se-Indonesia, kalau yang berangkat dalam acara ini adalah pribadi-pribadi pemerintahan desa sebagai bagian dari warga negara, maka tidak masuk kualifikasi Pasal 282 UU Pemilu.

Tetapi kalau sudah menggunakan nomenklatur kepala desa, itu jelas pelanggaran terhadap Pasal 282 UU Pemilu. Kenapa? Karena sudah jelas semua pejabat, bahkan termasuk kepala desa, tidak boleh melakukan apapun yang menguntungkan salah satu peserta pemilu.

Bahkan, misalnya, kejadian yang menimpa kepala desa di Mojokerto. Seorang kepala desa dipidana hanya karena gara-gara menyambut calon wakil presiden. Artinya, menyambut saja menurut penilaian penegak hukum sudah dianggap pelanggaran pemilu. Apalagi datang berbondong-bondong melaksanakan Silaturahmi Nasional Pemerintah Desa Se-Indonesia untuk satu tujuan, yaitu memberikan predikat ‘Bapak Pembangunan Desa’ kepada capres yang kebetulan petahana itu.

Sekalipun acara ini bukan atas inisiatif Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sebenarnya Kemendagri bisa meminta penyelenggara untuk memundurkan kegiatan silaturahmi nasional ini pasca 17 April 2019. Itu lebih elegan, lebih menenangkan, dan lebih menjamin ketenteraman dan ketertiban masyarakat.

Terlebih, asosiasi yang menaungi masyarakat desa itu setidaknya ada dua organisasi besar. Ada Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (Apdesi)–yang besok turut terlibat dalam silaturahmi nasional, ada juga yang menamakan dirinya sebagai Parade (Persatuan Rakyat Desa) Nusantara. Dua organisasi ini sama-sama punya basis massa.

Uniknya, Apdesi kemungkinan akan mendukung Jokowi-Ma’ruf. Sementara Parade Nusantara sudah terang-terangan jauh-jauh hari akan mendukung Prabowo-Sandi. Nah, ini tentu akan menjadi problem di kalangan masyarakat desa.

Mestinya, pemerintah desa netral saja. Karena memang UU Pemilu sudah mengamanatkan kepala desa harus netral. Toh, menang atau kalah presiden yang didukung, tidak akan berimbas langsung terhadap bagaimana mereka bekerja.

Jadi, memberikan dukungan secara terang-terangan kepada salah satu capres, selain melanggar undang-undang, juga berpotensi mengganggu dan merusak ketenteraman masyarakat di desa. (watyutink/*)

*Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII