Sertifikat Tanah

Oleh: Satria Sukananda

KONDISI kehidupan masyarakat terus berkembang sesuai dengan dinamika pembangunan dan tuntutan zaman. Akibatnya, aktivitas kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan tanah semakin hari semakin bertambah dan bahkan semakin kompleks. Bila kompleksitas itu tidak diikuti dengan upaya penertiban maka kelak masyarakat akan membenani dirinya dengan permasalahan pertanahan yang semakin rumit.

Kondisi masyarakat juga hingga saat ini masih sangat tergantung pada kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha yang sebagian besar bersifat agraris sehingga tanah merupakan tumpuan harapan bagi masyarakat agar dapat melangsungkan asas dan tata kehidupan. Selain hal yang telah dijelaskan di atas tanah juga merupakah salah satu properti yang sangat penting bagi masyarakat karena nilai ekonomi dan nilai strategis tanah memiliki keunikan karena nilai yang semakin naik (increasing value), berbeda dengan benda bergerak seperti mobil, motor, kapal yang nilai kebendaannya semakin hari cenderung menurun (decreasing values). Tidak heran tanah sangat rentan dengan sengketa dan konflik yang melibatkan berbagai pihak.

Persengketaan di bidang pertanahan dapat menimbulkan konflik-konflik yang berkepanjangan antarwarga masyarakat yang bersengketa, bahkan sampai kepada ahli warisnya, yang dapat menimbulkan banyak korban. Kesemuanya bermula dari pertanyaan-pertanyaan tentang siapakah yang lebih berhak atas tanah tersebut, sehingga para pihak berlomba-lomba membuktikan bahwa merekalah yang lebih berhak atas tanah tersebut.

Berhubung dengan hal tersebut di atas, makin lama makin terasa perlu adanya jaminan kepastian hukum dan kepastian hak atas kepemilikan tanah. Untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah, maka masyarakat perlu mendaftarkan tanah guna memperoleh sertipikat hak atas tanah yang berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan hak atas tanah.

Untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah, dilaksanakan Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah negara Republik Indonesia yang meliputi:
1. Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;
2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan perolehan hak-hak tersebut;
3. Pemberian surat-surat tanah bukti hak (sertifikat) yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Sedangkan pengertian pendaftaran tanah dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah di mana dijelaskan bahwa pendaftaran tanah adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-saturan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Selanjutnya menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Pendaftaran tanah di Indonesia bertujuan untuk:

  1. Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah;
  2. Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan;
  3. Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hak atas tanah yang sudah terdaftar dan memperoleh sertipikat telah mendapatkan jaminan kepastian hukum hak tanahnya. Kepastian hukum yang dimaksudkan meliputi kepastian hak, kepastian objek dan kepastian subjek serta proses administrasi penerbitan sertipikat hal jelas dinyatakan sebagai satu tujuan pendaftaran tanah di Indonesia yang bersifat rechts cadaster.

Kepastian hukum objek hak atas tanah adalah meliputi kepastian mengenai bidang teknis yang meliputi aspek fisik, yaitu kepastian mengenai letak, luas dan batas-batas tanah yang bersangkutan. Letak dan luas tanah merupakan salah satu unsur yang menentukan kepastian hukum. Untuk mendapatkan letak dan luas yang pasti, dilakukan pengukuran secara kadasteral atas bidang tanah dilapangan. Hasil pengukuran dipetakan secara jelas dalam suatu surat ukur, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari satu sertifikat hak tanah.

Sebelum dipetakan, hasil pengukuran dan batas-batas tanah diperlihatkan kepada pemilik tanah yang berbatasan untuk mendapatkan kepastian letak batas tanah. Apabila telah disepakati, maka pemilik tanah berbatasn membubuhkan tanda tangan persetujuan yang diistilahkan dengan contradictoire delimitatie. Dalam hal terjadi perbedaan pendapat (sengketa batas), maka dilakukan upaya perdamaian. Persetujuan batas oleh pemilik yang berbatasan, menjadi dokumen yang disatukan dengan data-data lainnya dalam bentuk warkah pendaftaran tanah, yang pada saat dibutuhkan dapat diuji kebenaran materilnya oleh pejabat yang berwenang.

Kepastian hukum mengenai objek hak tergantung dari kebenaran data yang diberikan oleh pemohon hak dan adanya kesepakatan batas-batas tanah dengan pemilik berbatasan (contradictioire delimitatie) yang secara fisik ditandai pemasangan patok-patok batas tanah di lapangan hak atas sebidang tanah di samping pemegang haknya, juga terkait kepentingan pihak lain termasuk masyarakat. Keterkaitan pihak lain dapat secara langsung misalnya dalam hubungan penggunaan, atau jaminan dan lain-lain.

Dalam hal kepastian hukum subjek hak atas tanah, pemegang hak mempunyai kewenangan untuk berbuat atas miliknya, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang atau melanggar hak atas kepentingan orang lain. Di samping hak-hak dan kewenangan-kewenangan yang dimiliki tersebut, juga melekat kewajiban–kewajiban baik terhadap negara maupun terhadap masyarakat. Di dalam menikmati hak-hak dan kewenangan-kewenangannya itu, pemilik membutuhkan ketenangan dan perlindungan hukum yang lahir dari adanya kepastian hukum hak atas tanahnya.

Sehubungan dengan hal itu, unsur-unsur hukum yang harus dipenuhi dalam rangka pendaftaran dan penerbitan sertipikat hak atas tanah, yaitu unsur hukum tertulis. Hukum tertulis dijumpai dalam bentuk peraturan perundang-undangan (undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri, yurisprudensi, dan sebagainya) yang dimiliki tersebut, juga melekat kewajiban–kewajiban baik terhadap negara maupun terhadap masyarakat. Di dalam menikmati hak-hak dan kewenangan-kewenangannya itu, pemilik membutuhkan ketenangan dan perlindungan hukum yang lahir dari adanya kepastian hukum hak atas tanahnya.

Sehubungan dengan hal itu, unsur-unsur hukum yang harus dipenuhi dalam rangka pendaftaran dan penerbitan sertipikat hak atas tanah, yaitu unsur hukum tertulis. Hukum tertulis dijumpai dalam bentuk peraturan perundang-undangan (undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri, yurisprudensi, dan sebagainya). Dalam hukum tanah nasional, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 sebagaimana ditegaskan dalam penjelasannya bahwa sebagai Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, pada pokoknya bertujuan:

  1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
  2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederahanaan dalam hukum pertanahan;
  3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Dasar-dasar tersebut merupakan manifestasi dari prinsip dasar yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: Bumi dan air serta kekayaan alan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kepastian hukum yang menjadi tujuan pendaftaran tanah harus diwujudkan dari penyelenggaraan pendaftaran hak milik berdasarkan peraturan perundangan yang ada. kajian tentang kepastian hukum hak milik harus dikaji menurut hukum tertulis dan juga hukum tidak tertulis menurut realitas sosial yang berkembang di masyarakat. Sungguh pun pelaksanaan pendaftaran tanah ini harus terus dilakukan sehingga kelak makna tanah bagi manusia benar-benar dapat memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya sebagaimana yang diharapkan. (*)

*Calon Analis Sengketa Pertanahan, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kepulauan Riau