Kastara.ID, Jakarta — Narasi soal tenggat waktu pengosongan wilayah Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, sampai 28 September 2023, demi pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City dinilai kontraproduktif di tengah upaya Pemerintah yang ingin mencari titik temu persoalan ini.

“Hemat saya, adanya narasi Pulau Rempang harus kosong sampai 28 September 2023 bukan narasi komunikasi yang baik. Narasi ini terkesan seperti monolog, padahal yang dibutuhkan saat ini adalah dialog atau mengedepankan komunikasi dengan warga yang terdampak. Narasi Pulau Rempang harus segera dikosongkan sama saja menyempitkan ruang dialog dengan warga yang seharusnya saat ini dibuka seluas-luasnya. Saya berharap narasi soal tenggat waktu pengosongan ini tidak lagi dikemukakan karena saat ini warga masih menolak direlokasi dari lahan yang sudah mereka tinggali turun temurun,” ujar Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta.

Fahira Idris mengungkapkan, persoalan PSN Rempang Eco City yang ditolak warga Pulau Rempang tidak bisa hanya disimpulkan persoalan komunikasi saja. Berbagai studi kasus soal penolakan pembangunan termasuk di Indonesia yang mengharuskan adanya relokasi warga dari lahan dan tempat tinggalnya, penyebabnya tidak tunggal bahkan dapat dikatakan cukup kompleks.

Oleh karena itu, lanjut Fahira Idris, jika Pemerintah ingin mendapatkan titik temu dari persoalan PSN Rempang Eco City, maka pendekatannya juga harus komprehensif dan tidak menjadikan tenggat waktu sebagai patokan.

“Adanya konflik warga dengan aparat akibat pengembangan Rempang Eco City yang akan menjadi daerah industri, perdagangan, dan wisata ini membuktikan bahwa Pulau Rempang bukanlah tanah kosong. Harus ada opsi-opsi lain, selain merelokasi warga terutama yang ada di 16 Kampung Melayu Tua yang diperkirakan sudah ada di pulau ini sejak ratusan tahun lalu,” pungkas Fahira Idris. (dwi)