Oleh: Muhammad AS Hikam

Hakim tunggal Sutiyono dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) memutuskan menolak gugatan praperadilan dari Buni Yani terkait statusnya sebagai tersangka penghasutan SARA karena caption pada video Ahok di Kepulauan Seribu yang diunggah di Facebook. Seperti kita ketahui, dalam kasus ini penyidik menjerat Buni dengan Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45 ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Buni Yani melakukan gugatan praperadilan setelah menjadi tersangka, karena ia menganggap bahwa “caption tersebut tidak dimaksudkan untuk menghasut orang lain lewat media sosial”. Menurut mantan dosen komunikasi itu, keterangan pada video itu, “hanya untuk mengajak diskusi”. Tetapi Hakim Sutiyono memutuskan untuk “..menolak permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya”. Hakim mengatakan, dasar putusannya adalah keterangan dari semua saksi dan ahli yang dihadirkan pemohon termasuk Polda Metro Jaya sebagai pihak termohon.

Dengan gagalnya gugatan praperadilan ini, maka Buni Yani juga akan mengikuti prosedur hukum yang kini dijalani oleh Gubernur DKI non-aktif Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok, yaitu proses peradilan di Pengadilan Tinggi. Sebelumnya Buni Yani sangat percaya diri bahwa gugatan praperadilan yang diajukannya akan berjalan mulus dan dirinya tak akan menjadi tersangka dalam kasus ini. Tetapi fakta bicara lain, dan ia harus bersiap menghadapi proses peradilan selanjutnya.

Bagi publik yang selama ini hanya melihat Ahok sebagai tersangka, tentu saja putusan Hakim praperadilan ini akan berdampak signifikan. Kubu Ahok kini bisa menggunakan status tersangka Buni Yani ini untuk memperkuat posisinya, setidaknya membuka peluang untuk menjelaskan pada publik DKI adanya kemungkinan bahwa sang petahana mengalami hal ini karena adanya video Buni Yani.

Dalam kaitan dengan dinamika Pilkada DKI, status Buni Yani sebagai tersangka ini bisa dikapitalisasi untuk memerkuat posisi pasangan Badja. Sebab jika proses hukum berjalan tanpa intervensi dan berlangsung bebas, maka keadilan bagi Ahok akan dapat diperoleh. Ini penting untuk menarik para pemilih yang belum memutuskan (undecideds) dan/atau para pemilih yang berpotensi bergeser (swinging voters) yang jumlahnya masih cukup signifikan. Paslon Badja akan lebih mudah mempengaruhi dan meyakinkan mereka dibanding jika hanya Ahok yang sendirian di meja hijau. Dalam kondisi perimbangan elektabilitas kurang menguntungkan paslon Badja, kegagalan praperadilan Buni Yani adalah sebuah peluang untuk meyakinkan para pemilih potensial. (*)