RKUHP

Oleh: Fadil Aulia

SALAH satu isu hukum yang terus menjadi bahan pembicaraan akademisi dan praktisi hukum ialah isu mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, khususnya Pembentukan Undang-Undang. Ya, isu ini seakan tidak ada habisnya. Rasanya sedikit sekali bahkan hampir tidak ada Undang-Undang yang terlepas dari perdebatan mengenai aturan pembentukannya. Baik dari formalitas pembentukannya ataupun materiilnya. Racangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) adalah salah satu dari sekian banyak Rancangan Undang-Undang yang mendapat banyak sorotan dari segi formil dan materiil atau substansinya.

Beberapa hari belakangan masyarakat dan pemerhati hukum khususnya, kembali dihadapkan pada perdebatan dan penolakan materiil atau substansi yang dimuat RKUHP. Ya, perdebatan dan penolakan substansi yang dimuat dalam RKUHP bukanlah merupakan hal pertama kali terjadi. Dari sejarah panjang pembentukan RKUHP, sudah terjadi beberapa kali perdebatan bahkan penolakan terhadap substansi yang dimuat dalam pasal-pasal RKUHP.

Pembentukan RKUHP
Sedikit melihat ke belakang, pembentukan RKUHP pertama kali digagas pada saat Seminar Hukum Nasional di Semarang, tahun 1963. Banyak yang menjadi alasan munculnya usulan pembentukan RKUHP tentunya. Di samping KUHP yang ada dan berlaku di Indonesia pada saat itu dan sampai sekarang berlaku merupakan produk kolonial, juga banyaknya nilai-nilai yang ada dalam KUHP sudah tidak relevan dengan kondisi yang ada di Indonesia. Namun, meskipun KUHP produk asli Indonesia dibutuhkan, perencanaan yang sudah mulai digagas tidak berjalan dengan lancar sampai saat ini. 59 tahun sejak awal gagasan pembentukan KUHP baru muncul, tujuh kali pergantian presiden dan silih bergantinya tim penyusun, masih belum bisa merampungkan pembentukan KUHP baru seperti yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia. Sungguh sangat banyak hadangan yang ditemui dalam penyusunan RKUHP tersebut.

Pada tahun 2019, perkembangan pembentukan RKUHP pada dasarnya menemui titik terangnya, yang mana Pemerintah bersama-sama dengan DPR bersepakat untuk mengesahkan Rancangan KUHP menjadi KUHP. Namun, hadangan kembali datang. Banyak di antara masyarakat Indonesia yang tidak setuju dengan beberapa pasal yang dimuat dalam RKUHP yang akan disahkan tersebut. Meskipun pasal yang tidak disetujui oleh masyarakat hanya sebagian kecil dari banyaknya pasal yang ada dalam RKUHP, tetap saja bagi masyarakat RKUHP tersebut harus dilakukan peninjauan ulang dan revisi sebelum dilakukan pengesahan. Hal tersebut tentunya membuat Pemerintah dan DPR harus menarik kembali dan melakukan peninjauan ulang terhadap draft RKUHP tersebut.

Setelah melakukan perbaikan terhadap draft yang ada, melakukan sosialisasi dibeberapa tempat mengenai substansi RKUHP, pada Juni 2022 kemarin tim penyusun RKHUP dari Pemerintah bersepakat menyerahkan draft RKUHP tersebut kepada DPR untuk segera disahkan. Akan tetapi, lagi dan lagi jalan terjal masih menghampiri pengesahan RKUHP tersebut. Berbagai perdebatan dan penolakan kembali bermunculan dari berbagai pihak terhadap substansi dari RKUHP tersebut.

Perdebatan dan Penolakan RKUHP
Berangkat dari tahun 2019 sampai sekarang Tahun 2022, setidaknya sudah terdapat dua kali perdebatan dan penolakan besar dari masyarakat terhadap substansi RKUHP. Uniknya perdebatan dan penolakan yang muncul, terjadi pada saat RKUHP ingin segera disahkan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR.

Perdebatan dan penolakan terhadap substansi RKUHP tentunya terjadi bukan tanpa sebab. Banyak poin-poin beserta penjelasannya mengapa terjadi penolakan oleh masyarakat terhadap substansi RKUHP tersebut. Pada tahun 2019 setidaknya terdapat kurang lebih 12 pasal yang ditolak oleh masyarakat karena dianggap dapat merugikan masyarakat apabila disahkan. 12 Pasal tersebut di antaranya mengenai Hukum yang hidup dalam masyarakat, Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, Penghinaan terhadap Pemerintah, Kepemilikan kekuatan Gaib, Pembiaran Unggas, Mempertunjukkan alat Kontrasepsi, Perzinaan, Kohabitasi, Penggelandangan, Aborsi dan Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan pada tahun 2022, sedikit berbeda dengan tahun 2019. Pada tahun 2022 perdebatan dan penolakan yang muncul di tengah-tengah masyarakat terfokus pada Pasal Penghinaan terhadap Pemerintah serta Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Beberapa hari terakhir perdebatan mengenai persoalan susbtansi RKUHP khususnya mengenai Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden muncul dari dua tokoh hukum yang cukup berpengaruh terhadap perkembangan hukum di Indonesia yaitu Profesor Eddy OS Hiariej (yang sekarang merupakan Wakil Menteri Hukum dan HAM) dan Doktor Zainal Arifin Mochtar (yang merupakan Pakar Hukum UGM).

Munculnya perdebatan elegan dari dua tokoh yang cukup dikenal vokal dalam perkembangan dunia hukum di Indonesia tersebut tentunya bukanlah merupakan hal negatif. Akan tetapi malah sebaliknya. Perdebatan pemikiran dua tokoh hukum tersebut merupakan angin segar bagi pembahasan substansi RKUHP yang ditunggu-tunggu dari 59 tahun yang lalu. Perdebatan keilmuan tersebut setidaknya bisa menjadi “penghadang jalan terjal” atau masukan bagi tim penyusun RKUHP, untuk memperbaiki draft RKUHP yang ada agar sesuai dengan nilai-nilai yang diharapkan oleh masyarakat.
Pandangan-padangan baru yang dimunculkan dalam melihat aturan yang dibuat tentunya akan mempermudah untuk menentukan apakah norma yang sudah dirumuskan sesuai dan memberikan perlindungan terhadap masyarakat ataukah tidak. Jangan sampai norma yang dibuat hanya memberikan perlindungan terhadap pihak yang berkuasa. Semua warga negara tentunya harus mendapat perlindungan hukum yang sepadan dari hukum yang dibentuk.

Menurut penulis, sudah saatnya semua pihak baik yang terlibat secara langsung maupun yang tidak terlibat dalam penyusunan RKUHP untuk bekerja sama menyelesaikan persoalan substansi RKUHP yang tidak ada kejelasan ujungnya tersebut. Sungguh sangatlah banyak pemikir-pemikir hukum di Indonesia yang mempunyai keilmuan yang mampuni.

Jangan sampai hanya karena keegoisan tim penyusun atau karena keegoisan pihak di luar tim penyusun mempertahankan opininya, menyebabkan masyarakat menjadi korban daripada ketidakjelasan RKUHP tersebut. Sudah sangat lama, sudah sangat banyak uang negara yang dihabiskan, sudah sangat banyak masyarakat yang menerika ketidakadilan, sudah banyak pihak yang berkorban untuk menyelesaikan dan sudah sangat sering mahasiswa tidak masuk kelas hanya untuk berdemo mempertahankan keadilan. Jalan terjal pengesahan RKUHP tentunya harus segera dihentikan. (*)

* Penggiat Hukum Pidana dan Alumni Magister Ilmu Hukum UGM, tinggal di Depok, Yogyakarta.