Self Defense

Oleh: Fadil Aulia

NECESSITAS excusat aut extenuate delictum in capitalibus, quod non operator idem in civilibus. Artinya, pembelaan terpaksa membebaskan seseorang dari hukuman namun tidak demikian dalam perkara perdata. Demikian suatu postulat dalam doktrin hukum.

Akhir-akhir ini, masyarakat dihebohkan dengan sebuah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang remaja yang berinisial ZA ketika ingin melakukan pembelaan terhadap dirinya dan seorang temannya dari terduga pelaku begal. Masyarakat dihebohkan dengan dakwaan jaksa penuntut umum yang menggunakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan ancaman pidana hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun sebagai dakwaan primair. Meskipun pada akhirnya dalam tuntutannya jaksa penuntut umum menyatakan bahwa Pasal 340 KUHP tidak terbuti.

Kasus pembelaan diri terhadap suatu kejahatan yang dilakukan oleh ZA bukanlah merupakan satu-satunya kasus yang menghebohkan masyarakat. Pada tahun 2018 seorang remaja yang berinisial MI ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan karena ingin melakukan pembelaan terhadap dirinya dari seorang yang terduga pelaku begal. Di Sleman pihak kepolisian menetapkan IR sebagai tersangka karena ingin melakukan pembelaan terhadap dirinya dengan menabrak seorang terduga pelaku klitih.

Rentetan kasus di atas secara spontan menjadi bahan pertanyaan di tengah-tengah masyarakat, apakah pembelaan yang dilakukan oleh seseorang untuk melindungi diri sendiri sebagaimana kasus di atas dapat dijerat dengan pasal KUHP, seperti pasal 340 KUHP, 338 KUHP, 351 KUHP atau pasal lainnya dalam KUHP? Untuk mengkaji masalah tersebut, perlu ditelusuri terkait dengan teori dalam hukum pidana khususnya teori mengenai pembelaan.

Hukum pidana pada dasarnya mengenal adanya alasan penghapus pidana, yang tediri dari alasan pembenar dan alasan pemaaf. Menurut Fletcher, alasan pembenar merupakan perbuatan pelaku telah memenuhi unsur ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang, namun masih dipertanyakan apakah perbuatan tersebut dapat dibenarkan ataukah tidak. Sedangkan alasan pemaaf adalah suatu perbuatan adalah salah menurut undang-undang, akan tetapi masih dipertanyakan, apakah pelaku dapat dipertanggungjawabkan ataukah tidak.

Artinya, seseorang yang melakukan suatu kejahatan pada dasarnya bisa tidak dihukum atau dipidana karena adanya alasan penghapus pidana yang terdiri dari alasan pembenar dan alasan pemaaf tersebut. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, alasan pengapus pidana terdapat dalam Pasal 44, Pasal 48 sampai Pasal 51 KUHP. Masing-masing alasan penghapus pidana yaitu tidak mampu bertanggung jawab, daya paksa, keadaan darurat, pembelaan terpaksa, pembelaan terpaksa melampaui batas, melaksanakan perintah undang-undang, perintah jabatan, dan perintah jabatan tidak sah.

Pembelaan Terpaksa

Pembelaan terpaksa atau Noodweer merupakan salah satu bentuk alasan pembenar. Artinya seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dapat dibenarkan ketika dalam keadaan melakukan pembelaan terpaksa.

Pasal 49 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan seketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri ataupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”. Jika dilihat secara sepintas, maka ketentuan yang ada dalam pasal tersebut jelas bahwa pembelaan yang dilakukan oleh seseorang karena maksud untuk melindungi dirinya, melindungi kehormatan kesusilaan dan melindungi harta benda tidak dapat dipidana.

Akan tetapi rumusan Pasal 49 ayat (1) KUHP tersebut tidak serta-merta dapat diberlakukan terhadap seseorang yang melakukan pembelaan. Menurut D. Schaffmeister, N. Keijzer dan P.H Sutorius sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Eddy O.S Hiariej, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar seseorang yang melakukan pembelaan terpaksa tidak dipidana. Pertama, ada serangan seketika. Kedua, serangan tersebut bersifat melawan hukum. Ketiga, pembelaan merupakan keharusan. Artinya sudah tidak ada lagi jalan untuk menghindar dari serangan tersebut. Keempat, cara pembelaan adalah patut. Tidak terpenuhinya syarat-syarat tersebut maka akan berdampak kepada tidak berlakunya alasan pembenar dalam suatu tindak pidana.

Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas

Ada kalanya seseorang yang menjadi korban dari suatu kejahatan, untuk melindungi dirinya melakukan pembelaan yang melampaui batas atau noodweerexcess. Pada dasarnya sama halnya dengan pembelaan terpaksa, hukum pidana juga memperbolehkan melakukan pembelaan yang melampaui batas dengan syarat harus ada kegoncangan jiwa yang hebat akibat serangan yang dilakukan oleh pihak lain, sehingga menimbulkan pembelaan terpaksa yang melampaui batas.

Dengan demikian, pada dasarnya pembelaan terpaksa yang dilakukan oleh seseorang yang menjadi korban dari suatu kejahatan tidak bisa dipidana, asalkan pembelaan terpaksa yang dilakukan tersebut memenuhi syarat yang sudah ditentukan. Esensi dari pembelaan terpaksa adalah pelaku melakukan tindakan untuk menghindari kejahatan yang lebih besar atau menghindari bahaya yang mengancam. (*)

  • Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada.