Kastara.id, Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) minta kaum buruh jangan buta politik. Sebab kaum buruh itu adalah bagian dari pemain politik. Apalagi kebijakan-kebijakan tentang buruh dilahirkan dari panggung politik.

“Kalau buruh buta politik nanti malah bisa dipermainkan oleh politik itu sendiri. Khususnya terkait dengan kesejahteraan yang juga diputuskan secara politik,” kata Irgan Chairul Mahfiz dalam forum legislasi  “Menakar UU Ketenagakerjaan, Masihkah Buruh Jadi Alat Politik” bersama Dewi Asmara (Anggota Komisi IX DPR FPG) dan tokoh buruh Indonesia Sonny Pudji Sasono di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (25/4).

Sekarang, kata politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini tidak perlu lagi takut bicara politik. Semua komponen bangsa bebas berpolitik dan itu dilindungi undang-undang. Termasuk kaum buruh. Justru menjadi tidak tepat jika buruh tidak terlibat dalam panggung politik.

Menurutnya, era reformasi menjadi pintu gerbang terjadinya penyatuan suara buruh yang berujung pada pembentukan patai politik. “Sayangnya, partai-partai politik berbasis buruh tidak mendapat dukungan seperti yang diharapkan,” kata Irgan.

Setelah reformasi bermunculan parai politik tapi hanya mendapat dukungan suara nol koma sekian persen suara nasional. Dua kali pemilu, partai buruh mendapatlan suara yang tidak aignifikan.

“Kalau dilihat dari segi massa dan gerakan saya kagum. Tapi kenapa ketika tokoh buruh mendirikan partai politik sangat sedikit sekali buruh yang memilih partainya, tapi malah memilih partai lain. Itu artinya partai buruh tidak diminati masyarakat termasuk buruh sendiri. Namun, kalau gerakan buruhnya saya apresiasi,” ujar Irgan.

Menyinggung Balai Latihan Kerja (BLK), lanjut Irgan, anggaran untuk ketenagkerjaan hanya Rp 4 triliun, padahal terdapat 6 juta tenaga kerja di luar negeri, yang setiap bulannya memberi masukan pada negara minimal Rp 1 juta.

“Jadi, anggaran Rp 4 triliun tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pemasukan TKI dari luar negeri. Namun, apa pun alasannya harus ada penguatan (empowering) TKI dalam negeri. Sebab, kalau tidak, akan kalah dengan tenaga kerja asing,” katanya.

Untuk itu penanganan BLK itu harus serius mengingat tenaga kerja asing terus membanjiri Indonesia. Bahkan, pelayan-pelayan hotel sudah dari luar negeri, tukang ngaduk semen di PT Semen Indonesia, Banten, di Jawa Tengah sebagian sudah berasal dari luar negeri. “Fakta inilah yang harus menjadi perhatian bersama agar TKI dalam negeri tidak kalah dengan asing,” ujar Irgan.

Hal senada diungkapkan Dewi Asmara. Menurutnya, buruh bebas berpartisipasi dalam politik praktis. “Golkar pun siap menjadi wadah aspirasi asal sesuai dengan cita-cita Golkar. Jadi, banyak hal yang harus dibicarakan terkait buruh dan BLK sendiri,” katanya.

Menurut Dewi, BLK ini sama seperti jalan. Ada yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota. Sehingga tidak semua BLK menjadi kewajiban pusat.

“Itu konsekuensi otonomi daerah. Masalahnya, mau tidak Mendagri mengembalikan masalah BLK itu kepada Kemenaker?” ujarnya mempertanyakan.

Sejauh itu Sonny bersyukur, karena buruh dan pekerja saat ini bisa gerak jalan, mancing, dan wisata lainnya yang difasilitasi pemerintah melalui hari buruh atau ‘May Day’. “Buruh pun sulit disatukan karena masing-masing sudah dimanfaatkan untuk kepentingan politik yang berbeda-beda,” katanya. (arya)