Manusia Beriman

Oleh: M. Fuad Nasar

SATU ketika terjadi dialog seorang diaspora Indonesia dengan Prof. Dr. Bustami Abdul Gani (1912–2001), tepatnya sewaktu beliau menjalani operasi di Perth, Australia. “Kenapa Bapak yang sejak muda kerjanya jadi guru agama dan banyak beribadah, koq masih diberikan penyakit oleh Allah?”

Sang begawan bahasa Arab dan salah satu tokoh perintis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (kini UIN) itu menjawab, “Penyakit itu ujian buat kita. Kalau kita sabar menjalaninya, maka kita akan mendapat pahala.”

Islam menekankan syukur dan sabar sebagai sikap mental manusia beriman. Nabi Muhammad Saw dalam hadisnya menyatakan, “Menakjubkan keadaan orang beriman. Segala urusannya baik belaka, dan itu ada hanya pada orang beriman. Jika diuji dengan kenikmatan, dia bersyukur dan itu memberikan kebaikan kepadanya. Jika diuji dengan kesusahan, dia bersabar dan itu juga memberikan kebaikan kepadanya.” (HR Muslim)

Setiap manusia pasti akan diuji oleh Allah dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Musibah yang dekat dengan kita saat ini ialah Covid-19. Pandemi berbahaya itu telah merenggut ribuan nyawa. Sekian banyak dokter, perawat, ulama, tokoh umat, guru, dosen, pegawai, pejabat pemerintah, anggota parlemen, aktivis organisasi, dan warga masyarakat meninggal karena terinfeksi Covid-19. Ada yang bergejala dan ada yang tanpa gejala. Mereka yang pergi adalah orang yang dicintai dan dibutuhkan di dalam keluarganya dan di tengah masyarakat.

Ekonomi yang mati bisa dihidupkan lagi, tapi manusia yang mati karena Covid takkan bisa dipanggil hidup kembali. Islam menyadarkan, semua berasal dari Allah SWT dan akan kembali kepada-Nya.

Setiap orang harus menjiwai agama sebagai sandaran jiwa dan sumber energi mental agar terselamatkan dari pesimisme dan putus asa. Oleh karena itu, ulama, juru dakwah dan para penyuluh agama harus lebih berperan mendekatkan ajaran agama dengan realita kehidupan umatnya.

Dalam kehidupan yang keras dan persaingan hidup yang tak mengenal belas-kasihan, belakangan ini terjadi peningkatan kasus gangguan jiwa dan bunuh diri. Tingkat depresi di Indonesia cukup tinggi. Menurut Survei Global Health Data Exchange (2017), Indonesia negara dengan pengidap gangguan jiwa tertinggi di ASEAN yaitu 27,3 juta orang. Depresi, rasa kehilangan, keputusasaan, kesendirian, merasa worthless yang berkelanjutan, bisa jadi pendorong orang untuk bunuh diri. Di Indonesia, merujuk pada survey tahun 2016, setiap harinya ada 5 orang bunuh diri (Rorytalks: 2021).

Bunuh diri adalah bentuk keputusasaan paling ekstrim. Bunuh diri tidak hanya terjadi pada orang miskin dan tidak berpendidikan, tapi juga terjadi pada yang mapan secara ekonomi dan berpendidikan tinggi.

Seorang muslim harus yakin bahwa segala sesuatu ada jalannya karena beserta kesulitan ada kemudahan (QS Al Insyirah [94]: 5 – 6). Selain itu ajaran Islam mengarahkan umatnya agar saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran (QS Al ‘Ashr [103]: 3). Orang-orang beriman laki-laki dan perempuan harus menjadi penolong bagi yang lain, menyuruh berbuat kebaikan dan melarang dari perbuatan munkar, mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat serta patuh mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya  (QS At Taubah [9]: 71).

Agama adalah sumber energi mental yang tidak tergantikan selamanya. Ilmu dan kekayaan takkan bisa menggantikan fungsi agama sebagai pegangan hidup manusia. Kepercayaan kepada Allah merupakan fitrah hidup manusia dan perjanjian luhur di alam ruh sebelum setiap orang dilahirkan ke dunia

Paul Ehrenfest, Guru Besar Ilmu Fisika di Amsterdam Negeri Belanda puluhan tahun lalu mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Dia bunuh diri setelah membunuh anaknya yang lahir idiot. Paul meninggalkan sepucuk surat yang amat menyentuh perasaan para koleganya ketika itu, “Yang tak ada pada saya, ialah kepercayaan kepada Tuhan. Agama adalah perlu. Tetapi barangsiapa yang tidak mampu memiliki agama, ia mungkin binasa lantaran itu,” tulisnya. Wallahu a‘lam bisshawab. (*)

* Seditjen Bimas Islam.