Tiongkok

Kastara.ID, Jakarta – Gawat, pengusaha nikel domestik dan Pemerintah Indonesia mulai merasa dizolimi pengusaha Tiongkok. Menyusul ketimpangan pengukuran kadar hasil tambang antara surveyor pemerintah dan swasta yang ditunjuk pelaku usaha Negeri Tirai Bambu.

“Kami segera menelusuri perbedaan yang menyebabkan kerugian negara dan pengusaha nasional. Kalau ternyata surveyor swasta tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, baik standar alat atau tatacara pengukuran, tentu kami kenai sanksi pencabutan ijin usaha sampai pidana,” ujar Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan, Veri Anggrijono, saat dikonfirmasi (27/8).

Dirjen Veri menjelaskan, diawali kekisruhan pengusaha lokal dengan pemilik pabrik pemurnian (smelter) asal Tiongkok terkait harga patokan mineral (HPM) oleh Pemerintah Indonesia disusul masalah pengukuran kadar nikel oleh surveyor.

“HPM digunakan sebagai acuan dasar royalti pemerintah, dan telah menunjuk lima surveyor yaitu Sucofindo dan Surveyor Indonesia dari BUMN serta swasta yakni Geo Service, Carsurin, dan Anindya, dalam menentukan HPM, uji kadar logam nikel, besaran royalti, dan PPh,” urai Veri Anggrijono, yang mengaku bersama Ditjen Perdagangan Luar Negeri,

Sengkarut itu mengemuka saat rapat kerja Komisi VI DPR RI dengan Kemendag, Rabu (25/8). Andre Rosiade, anggota Fraksi Partai Gerindra, mengungkapkan kegeramannya sewaktu menerima pengaduan pengusaha domestik mengaku dicurangi pengusaha smelter dan pembeli asal Tiongkok serta terpangkasnya royalti Pemerintah Indonesia.

“Saya mendapatkan laporan dari teman-teman pengusaha nikel (lokal) ternyata mereka masih dizolimi,” kata Andre. “Saya minta Pak Menteri (Luthfi), kita bela pengusaha kita, Pak, kita bela NKRI. Ini penting karena menyangkut sumber daya alam kita dan menyangkut keberlangsungan pengusaha nasional kita,:” imbuhnya.

“Saya harap dalam masa sidang ini, persoalan ini bisa selesai,” tandas Andre, yang juga ketua Gerindra DPD Sumatera Barat itu.

Pendzoliman pengusaha anak negeri itu, katanya, diawali kecurangan HPM dan hasil uji kadar logam nikel. Seperti surveyor BUMN telah menentukan kadar nikel 1,8% tetapi surveyor swasta bisa turun jauh di bawah batas toleransi 0,05% sampai menjadi 1,5% bahkan 1,3%, yang bisa memengaruhi HPM.

Andre menambahkan, manakala barang tambang itu tiba di pelabuhan Tiongkok tetapi dihargai rendah sesuai hasil uji kadar surveyor PTA dan batal beli jika menolak harga rendah tersebut.

Karena itulah, sambung Dirjen Veri Anggrijono, usulan DPR RI bisa dipertimbangkan jika PTA dimenangkan maka nikel rijek itu dijual ke pasaran internasional dimana pemerintah menerima royalti layak dan pengusaha nasional untung. “Yang jelas, Pak Menteri (Luthfi) sudah memerintahkan kami membentuk Satuan Tugas menangani permasalahan ini,” tutup Veri. (*)