ACT

Kastara.ID, Bogor – Tuti Andriani (46) yang baru pulang bekerja mempersilakan tim ACT memasuki rumah kontrakannya yang terletak di ujung gang.

Di dua petak rumah kontrakan berukuran 3×6 tersebut Tuti bersama suami, dan ketujuh anaknya tinggal. Plafon yang terbuat dari triplek di beberapa sudut terlihat lapuk dan ambrol imbas guyuran hujan. Tidak ada dapur, hanya ada kamar mandi dan satu ruangan yang disekat menggunakan gipsum.

Peralatan dapur ia letakkan persis di samping pintu masuk. Kompor dua tungku diletakkan di meja dan di atasnya terdapat wajan dan spatula bekas menggoreng sesuatu.

“Setiap bulan harus bayar sewa Rp 550 ribu. Sebagai pedagang asongan, buat bayar kontrakan, bayar sekolah anak, enggak cukup.

Makanya kemarin meminjam dari (aplikasi) pinjaman online (pinjol),” cerita Tuti. Ia mulai berutang pada Juni 2020 saat pandemi Covid-19 mulai merebak. Saya pinjam Rp 1 juta, dikasih Rp 700 ribu, nanti harus dibalikin Rp 1,2 juta,” lanjutnya.

Uang hasil utang sebagian besar Tuti gunakan untuk membayar pendidikan kelima anaknya. Dua anak saat ini sekolah SMK, satu anak sekolah SMP, dan dua anak masih duduk di bangku SD. Meski kegiatan belajar mengajar masih daring, namun biaya pendidikan harus tetap dibayar. Dua anak lainnya sudah lulus dan belum bekerja.

Bagi Tuti, pendidikan anak adalah prioritas. Sehingga ia akan melakukan apapun untuk pendidikan anak-anaknya.

Ia berharap, jika pendidikan anak bagus dan tinggi kehidupannya akan dimudahkan sehingga dapat mengangkat derajat keluarga.

“Iya kalau sekolah tinggi, harapannya agar cari kerja gampang. Enggak nganggur atau kerja di jalan kayak saya. Akhirnya bisa bantu-bantu orang tua,” jelas perempuan yang biasa berjualan di lampu merah Jalan Baru Bogor ini.

Tuti menceritakan, pandemi Covid-19 membuatnya harus berutang kepada pinjol. Pendapatannya anjlok akibat kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat. Sebelum pandemi, ia bisa meraup untung Rp 300 ribu sehari.

“Setelah Covid-19 paling dapat Rp 30 ribu, kadang enggak laku. Sampai akhirnya kepepet, enggak punya duit lagi. Enggak ngerti kalau pembayarannya harus nambah (bunga) begitu. Sudah tidak tahu mau bagaimana lagi dan dapat uang dari mana lagi selain mengutang,” jelasnya.

Bunga membuat jumlah yang harus dibayar Tuti bertambah setiap bulan. Tuti pun diteror via telepon agar segera melunasinya. Bukan hanya Tuti, tetangga, teman, dan anggota keluarganya yang lain juga dihubungi agar Tuti segera membayar utang. Selain utang secara online, Tuti juga berutang ke koperasi.

Menurut Tuti, langkah berutang ke koperasi dilakukan setelah ponsel miliknya dijual untuk memenuhi kebutuhan. Akibat banyaknya utang dan juga bunga, Tuti tidak bisa membayarnya. Bahkan ia dijuluki “tukang utang” oleh sebagian warga di sekitarnya.

Akibat terlilit utang, Tuti berniat menjual ginjalnya. “Orang mencibir, ngomong yang enggak-enggak, saya tidak masalah. Mereka tidak tahu kondisi saya, kenapa saya utang. Ini semua demi anak, agar tetap bisa sekolah, bukan untuk berfoya-foya. Bahkan saat saya ngomong niat jual ginjal, mereka bilang ‘pengin viral’. Padahal murni benar-benar tidak punya uang buat anak sekolah,” kata Tuti seraya meneteskan air mata.

Kini utang Tuti pada pinjol masih berlangsung. (*)