Sumpah Pemuda

Oleh: Jaya Suprana

IKRAR Sumpah Pemuda tersurat pada prasasti Museum Sumpah Pemuda dengan menggunakan bahasa Indonesia ejaan van Ophuijsen: Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Tergetar Sukma
Setiap saat membaca dan mendengar ikrar Soempah Pemoeda, sukma di lubuk sanubari saya tergetar oleh rasa haru, kagum dan bangga atas betapa dahsyat dan tulus tanpa pamrih jabatan mau pun harta benda apa pun, para perintis kemerdekaan bangsa, negara dan rakyat Indonesia menggolarakan semangat kedaulatan bangsa Indonesia yang tersirat dan tersurat di dalam syair lagu Satu Nusa, Satu Bangsa mahakarya Liberty Manik mau pun Indonesia Raya mahakarya Wage Rudolf Soepratman yang kemudian dinobatkan sebagai Lagu Kebangsaan Indonesia.

Prihatin
Sungguh sangat memprihatinkan betapa di masa kini nilai makna sumpah ternyata mengalami inflasi. Memprihatinkan bahwa sumpah didegradasi menjadi alat untuk saling menyumpahi sesama warga yang kebetulan beda agama, ras, suku, etnis, perbedaan pendapat terbukti bahwa diri saya yang memang sudah uzur ini disumpahi sebagai tua bangka bau tanah berotak kelas dua akibat saya tidak setuju penggusuran rakyat miskin secara paksa bahkan secara sempurna melanggar hukum.

Memprihatinkan bahwa sesama warga Indonesia saling menyumpahi dengan istilah cebong, kampret, kadal gurun, dan lain-lain sebutan bukan manusiawi namun satwani.

Memprihatinkan bagaimana ada (tidak semua) mereka yang bersumpah atas nama kitab suci agama masing-masing dengan leluasa setelah nyaman duduk di singgasana kekuasaan kemudian terjangkit virus amnesia sehingga bukan saja lupa namun jelas mengingkari segenap sumpah yang diikrarkan dengan menyumpahi sumpah dirinya sendiri.

Memprihatinkan bagaimana ada (tidak semua) warga Indonesia tidak peduli Sumpah Pemuda dengan saling menghujat dan saling memfitnah antar sesama warga bangsa sendiri.

Memprihatinkan bagaimana Ibu Pertiwi tersedu-sedu menangis dan Bapak Angkasa galap meratap akibat menyaksikan bagaimana ketika bangsa Indonesia seharusnya bersatu padu menghadap angkara murka pagebluk Corona malah saling menyumpahi dengan musuh yang bukan bangsa penjajah namun justru sesama bangsa sendiri. (*)