Rahman Tolleng

Oleh: Mohammad AS Hikam

SAYA termasuk orang yang sangat mengagumi almarhum Bang Rahman Tolleng atau yang akrab dipanggil dengan sebutan “boss” oleh teman dekat beliau. Walaupun pergaulan saya bisa dibilang terbatas, baik dari segi waktu maupun volumenya, tetapi tetap saja almarhum saya masukkan dalam kategori sosok yang saya kagumi.

Saya kenal beliau satta bersama almaghfurlah Gus Dur sering ikut dalam diskusi di Forum Demokrasi (Fordem), di bilangan Jalan Gondangdia Lama. Bersama Bung Marsillam Simanjuntak dan Mas Bondan Gunawan, Bang Tolleng adalah tokoh-tokoh yang membuat saya makin tertarik untuk menekuni isu demokratisasi dan peran masyarakat sipil (civil society) pada awal 1990-an saat saya masih studi di AS. Kalau Bung Sillam sangat kuat dalam pemikiran politik modern, seperti alm GD, Bang Tolleng adalah sosok yang matang dalam gerakan seperti Mas Bondan.

Saya paling tertarik dengan skeptisisme dan kecurigaan Bang Tolleng terhadap kekuasaan, militerisme, dan otoriterisme, bukan saja yang ada dalam rezim Orba, tetapi juga yang beliau deteksi ada di kalangan masyarakat sipil. Saya juga sangat kagum dengan komitmen intelektual almarhum, sebagai komponen masyarakat yang mencerahkan dan mampu mengambil jarak terhadap kekuasaan. Mungkin karena itu beliau terkesan tak terlalu ambil pusing ketika berada di luar kekuasaan atau harus “kalah” dalam ontran-ontran politik.

Dalam diskusi-diskusi di Fordem, saya selalu mendengarkan kritik dan sesekaki sinisisme almarhum terhadap mereka yang dianggap “tokoh-tokoh” politisi dan aktivis. Terus terang, pertama kali saya dengar plesetan singkatan PIJAR, salah satu kelompok anti Orba yang aliran keras, dengan “BerPIkir JARang”, misalnya, adalah dari beliau. Padahal Bang Tolleng dan semua tokoh Fordem cenderung apresiasi terhadap aktivisme kelompok tersebut. Ledekan aktivis anti Orla tersebut bukan bermaksud meremehkan PIJAR, tetapi pendorong agar para anggota aktivisnya tidak melupakan pemahaman filosofis dan teoretis. Bukan asal berdemo.

Seperti juga Bung Sillam dan alm GD, Bang Tolleng adalah seorang pembaca buku yang “rakus” dan kritis. Namun beda dengan yang saya sebut pertama itu, almarhum lebih menampakkan diri sebagai aktivis yang lebih mengedepankan realitas lapangan. Karena itu perdebatan dalam diskusi Fordem kadang bisa panas gegara perbedaan interpretasi tentang relaitas lapangan antara para pendekar. Alm GD biasanya lalu mendinginkan suasana dengan guyonan. Dan Bang Tolleng yang tampilannya serius itu adalah yang tertawanya paling keras!

Setelah almaghfurlah GD jadi RI-1, saya sangat jarang bertemu Bang Tolleng, apalagi menikmati diskusi dengan beliau. Bagi mereka yang masih terus bisa berdiskusi dan menyerap ilmu serta pengalaman beliau tentu akan sangat beruntung. Dan bagi saya kepergian Bang Tolleng, dalam usia 81 th itu, adalah kehilangan yang luar biasa bagi bangsa, apalagi dalam kondisi saat ini yang sedang mengalami kemarau dalam pemikiran.

Selamat jalan Bang Tolleng, semoga husnul khotimah. Jika nanti bertemu alm GD, lanjutkan diskusinya dan tertawalah seperti dulu ketika menikmati guyon beliau. Alfatihah.. (*)