Imlek

Oleh: Jaya Suprana

SAMBIL bertapa di dalam rumah akibat pageblug Corona, saya mencoba menggali kembali beberapa logi yang sempat saya gagas. Termasuk humorologi yang menegaskan bahwa humor yang berbahaya adalah lelucon beraroma politik. Namun sebenarnya pada kenyataan, humor yang paling berbahaya adalah lelucon beraroma SARA.

SARA
Humor SARA senantiasa rawan tafsir-ganda yakni lucu dan tidak lucu. Humor etnis lazimnya terkesan lucu bagi yang bukan tergolong etnis yang menjadi sasaran humor. Sebaliknya humor yang sama lazimnya terkesan tidak lucu bagi yang kebetulan etnisnya sama dengan yang menjadi sasaran humor.

Tafsir-ganda terhadap humor analog tafsir-ganda terhadap karya seni. Sebuah karya seni dinilai indah oleh pihak yang kebetulan memiliki selera estetika sama dengan pihak yang membuat karya seni tersebut. Sebaliknya karya seni yang sama rawan dinilai sebagai sama sekali tidak indah oleh pihak yang kebetulan memiliki selera estetika beda dari sang permbuat karya seni. Bagi saya yang fanatik carnivorawan, sate ayam sangat lezat rasanya. Sangat beda selera dengan sahabat saya yang pejuang kemanusiaan, mbak Sri Palupi yang fanatik vegetarian.

Imlek
Contoh lelucon beraroma SARA adalah misalnya lelucon etimologi istilah IMLEK. Sebelum prahara Corona, kebetulan saya sempat mempelajari latar-belakang istilah IMLEK yang tampaknya tidak digunakan oleh masyarakat RRChina, Taiwan, Hongkong, Singapura, Vietnam, Jepang, dan lain-lain. Hanya masyarakat Indonesia yang mengenal istilah Imlek. Secara kebetulan pula sahabat saya yang suku Manado merangkap tokoh pemusik Kulintang sempat menggoyang panggung Sydney Opera House, Rama Tirta berbagi sebuah dongeng mengenai asal-muasal kata Imlek diambil dari yang beredar di kawasan medsos jaman now sebagai berikut:

Konon
Konon sekali lagi konon, alkisah pada zaman dahulu kala untuk pertama kali datanglah rombongan saudagar dari China mendarat di Batavia. Mereka turun dari kapal. Dari kejauhan, masyarakat Betawi melihat para saudagar itu bermata sipit. Maka masyarakat Betawi bilang “Kok merem ya?” Tetapi setelah dekat mereka baru sadar, ternyata para saudagar itu sama sekali tidak merem. Maka serentak orang-orang Betawi pada saat itu berkata “Ih melek…ih melek”. Maka lahirlah istilah Imlek.

Tiada Niat Buruk
Dongeng sekali lagi dongeng Betawi itu hanya ingin secara humoristis mendongeng tentang asal-usul kata Imlek yang tentu sama sekali bukan merupakan kenyataan. Sebagai pendiri Perhimpunan Pencinta Humor sepenuhnya saya menganggap dongeng itu sekadar suatu kreasi humor tanpa niat buruk apa pun.

Namun, belum tentu semua teman-teman yang juga kebetulan seetnis dengan saya menganggap lelucon asal-usul IMLEK itu lucu. Bahkan mungkin ada (tidak semua) yang ingin melaporkan Rama Tirta dan saya ke polisi atas dugaan kriminal menyebar lelucon SARA yang melukai perasaan masyarakat etnis tertentu. Namun jika diperbolehkan, saya berani menjamin bahwa mas Rama Tirta sama sekali tidak berniat menista etnis tertentu. Saya kenal beliau sebagai sesama warga Indonesia yang sama sekali tidak rasis.

Sementara saya juga tidak berniat buruk dalam menampilkan dongeng lelucon asal-usul IMLEK sekadar sebagai sebuah contoh humor yang rawan tafsir-ganda. Kebetulan pula saya sendiri tergolong etnis bermata sipit maka mustahil saya berniat melukai perasaan diri saya sendiri. Insya Allah, dalam suasana saling memaafkan masih pada masa Lebaran ini, penjelasan saya dapat dimengerti lalu dimaafkan oleh pihak yang merasa tersinggung oleh dongeng etimologi Imlek versi Betawi. Terima Kasih. (*)

* Penulis adalah pendiri Perhimpunan Pencinta Humor.