RKUHP

RKUHP

Kastara.ID, Jakarta – Penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden tidak perlu diatur dalam Racangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Hal itu diutarakan M Jamiluddin Ritonga, Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul Jakarta.

“Ada tiga pertimbangannya. Pertama, pasal penghinaan presiden dalam KUHP sudah dicabut oleh MK. Karena itu, tentu aneh kalau MK sudah membatalkan tapi dimunculkan kembali,” jelas Jamil kepada Kastara.ID, Selasa (30/8) pagi.

Padahal, semua anak bangsa tahu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bersifat final. Karena itu, tidak ada alasan apa pun untuk memghidupkan kembali pasal penghinaan presiden.

Kalau hal itu dilakukan akan muncul ketidakpastian hukum. Hal demikian tentu tidak boleh terjadi di negara hukum.

“Dua, di banyak negara penghinaan terhadap simbol negara tidak diperbolehkan. Bagi siapa yang menghina simbol negara dapat dipidanakan,” tandasnya.

Namun di Indonesia presiden dan wakil presiden bukanlah simbol negara. Karena itu, tentu tidak relevan bila dimasukkan fasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.

“Tiga, negara demokrasi pada umumnya sudah tidak memasukkan fasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Sebab, dalam demokrasi hak setiap warga negara sama di depan hukum. Karena itu, bila ada pengaturan khusus penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, maka prinsip sama di depan hukum sudah diabaikan,” ungkap Jamil yang juga mantan Dekan Fikom IISIP Jakarta ini.

Selain itu, dalam negara demokrasi pengawasan jalannya pemerintah dilakukan oleh rakyat. Pengawasan berupa kritik yang disampaikan rakyat kerap dipersepsi penghinaan oleh presiden atau wakil presiden. Akibatnya, rakyat kerap dipersalahkan sudah melalukan penghinaan.

“Jadi, persepsi presiden atau wakil presiden kerap dimenangkan oleh aparat hukum. Akibatnya, persepsi rakyat kerap menjadi salah,” imbuh Jamil.

Padahal dalam negara demokrasi, pemiliknya adalah rakyat. Kalau pemilik negara yang kerap dipersalahkan, maka hakekat demokrasi dengan sendiri telah hilang.

“Jadi, atas tiga pertimbangan tersebut seharusnya pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden ditiadakan di RKUHP. Semua itu demi kepastian hukum dan demokrasi di Indonesia,” pungkasnya. (dwi)