Kebudayaan
Oleh: Al-Zastrouw

SALAH satu misi penting dari Kabinet Indonesia Maju yang baru dibentuk Presiden Jokowi minggu lalu adalah pemberantasan terorisme dan radikalisme (tera). Ini adalah misi penting, karena tera adalah virus jahat dan tumor ganas yang bisa merusak tatanan sosial dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa. Upaya membangun SDM akan gagal total jika tera merajalela tidak bisa dikendalikan.

Gerakan tera ini berpangkal dari pemahaman agama yang tekstual, dangkal dan sempit. Pemahaman seperti ini melahirkan sikap keagamaan yang intoleran, eksklusif dan keras. Mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pemikiran dan pemahaman meskipun sama kitab suci dan ajarannya. Tidak mau bergaul dengan orang lain di luar kelompoknya karena dianggap najis, nista dan kotor. Menghalalkan darah siapa saja yang dianggap kafir. Jika sudah seperti ini maka selangkah lagi seseorang bisa menjadi teroris.

Keberadaan tera adalah nyata dan faktual. Gerakan mereka sangat terstruktur, sistematis dan masif karena didukung para diehard yang militan. Gerakan mereka licin dan ulet sehingga sulit dibendung. Karena memakai topeng agama, membuat masyarakat mudah terpikat dan aparat gamang menindak mereka. Jika tidak hati-hati upaya menghentikan gerakan mereka akan dituduh sebagai menista agama, kriminalisasi ulama bahkan anti Islam.

Gerakan mereka licin dan ulet sehingga sulit dibendung. Mereka menggunakan celah dan kesempatan sekecil apapun untuk mempengaruhi publik, khususnya generasi muda. Mereka tersebar di segala lini, mulai pengurus DKM masjid, majelis taklim, kelompok arisan, Rois di sekolah umum, lembaga dakwah kampus, komplek perumahan sampe kemunitas ibu-ibu yang sedang menunggu anaknya belajar di TK.

Untuk menebarkan ideologi tera yang intoleran dan eksklusif, mereka juga tidak segan-segan membonceng dan membajak kegiatan orang lain. Jika panitia atau penyelenggara menolak keinginannya, maka tidak segan-sega mereka menggerudug dan merusak acara orang lain, sebagaimana yang terjadi pada peristiwa peringatan hari Santri Nasional di Cianjur beberapa waktu lalu.

Melihat masifnya fenomena gerakan penyebaran paham keagamaan  yang bisa menciptakan tera, maka concern Presiden Jokowi pada pemberantasan tera menjadi relevan dan tepat. Karena meningkatkan SDM tanpa dibarengi pemberantasan tera sama dengan memperkuat tubuh dengan minum suplemen dan vitamin tapi membiarkan virus jahat dan tumor ganas menggerogoti tubuh.

Namun satu hal yang perlu diingat, pemberantasan tera tidak bisa dilakukan dengan semata-mata pendekatan struktural kekuasaan, apalagi cara-cara yang militeristik. Pendekatan seperti ini justru memancing pengerasan ideologi yang bisa mempercepat dan memperkuat gerakan tera. Ini terjadi karena mereka menganggap negara ini thoghut sehingga perlu dihancurkan, dengan demikian jika negara menggunakan pendekatan kekuasaan maka akan semakin membuat mereka berjarak dan mengeras.

Isu kriminalisasi ulama dan aktivis Islam terhadap upaya penegakan hukum oleh aparat terhadap para pelanggar hukum yang menggunakan simbol agama adalah bikti bagaimana gerakan ini memelintir isu ketika aparat mrenjalankan fungsi konstitusi. Apalagi jika menggunakan pendekatan militer, maka akan semakin membuat mereka bersemangat, karena merasa menjadi hero jika bisa berhadapan dengan militer.

Semua ini merupakan cermin bagaimana sulitnya menggunakan pendekatan kekuasaan untuk memberantas mereka. Belum lagi menghadapi berbagai kelompok politik yang menggunakan kelompok tera yang eksklusif intoleran untuk menyembunyikan kepentingan politiknya.

Untuk melengkapi pendekatan kekuasaan (konstitusional yuridis) dan militer, rasanya perlu diintensifkan pendekatan kebudayaan. Maksud pendekatan kebudayaan adalah mengetuk dan menyentuh hati dan jiwa dengan mengeksplorasi rasa kemanusiaan. Ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan berbagai perangkat tradisi baik dan seni budaya yang ada di masyarakat. Saya sering menyebut pendekatan budaya ini sebagai strategi merajut hati yaitu menyentuh hati untuk menumbuhkan kesadadaran hidup bersama sebagai ekspresi dari ajaran agama.

Pendekatan kebudayaan ini penting dilakukan karena kebudayaanlah yang membedakan manusia dengan hewan. Artinya pendekatan kebudayaan merupakan pendekatan yang manusiawi karena manjaga manusia agat tetap menjadi manusia.

Hampir semua orang berpendapat bahwa radikalisme dan terorisme adalah tindakan biadab, tindakan yang tidak manusiawi yang berarti tindakan hewani atau syaitoni. Dengan kata lain radikalisme dan terorisme adalah tindakan hewani dan syaitoni. Agar mereka kembali menjadi manusia maka harus dibudayakan dan diadabkan. Di sinilah pendekatan kebudayaan menjadi penting.

Kedua, pendekatan kebudayaan terkait dengan masalah hati dan rasa kemanusiaan, karena yang disentuh hati dan rasa. Pendekatan kebudayaan adalah menghidupkan kembali hati dan rasa manusia. Sebagaimana kita ketahui tera  bisa muncul pada setiap orang yang rasa dan hatinya mati atau sebaliknya virus tera lah yang mematikan rasa dan hati seseorang. Orang seperti ini tidak bisa lagi memandang manusia sebagai manusia. Sekalipun dia berotak cerdas, berpendidikan tinggi, berkecukupan secara ekonomi, jika sudah terkena virus tera, maka kemanusiannya akan hilang. Mereka memandang orang lain sebagai iblis kafir yang harus dihancurkan atau malaikat  suci yang harus diikuti dan dilindungi.

Kebudayaan adalah benteng yang tertanam dalam hati dan diri setiap manusia. Masyarakat yang berbudaya akan memiliki daya tahan (imun) terhadap berbagai tekanan dan berubahan. Sebaliknya masyarakat yang mengabaikan kebudayaan akan lemah sehingga mudah terdegradasi menjadi hewan atau malaikat. Politik, ekonomi, hukum, agama tanpa kebudayaan akan melahirlan manusia yang serakah, tamak, rakus dan bengis melebihi hewan.

Mengingat pentingnya kebudayaan dalam upaya memberantas tera, rasanya perlu dipikirkan “Densus Kebudayaan” pada setiap kementerian dan lembaga negara agar setiap kebijakan yang diambil dan tindakan yang dilakukan memiliki perspektif dan orientasi kebudayaan, tidak semata pendekatan teknis yang berorientasi politis apalagi proyek. (*)

* Dosen Pasca Sarjana Unusia, Penggiat seni tradisi dan budaya Nusantara