Taman Ismail Marzuki

Oleh: Jaya Suprana

SAHABAT dalam menyintai humor merangkap mahaguru kejawen saya, Darminto “Odios” Sudarmo berbagi sebuah berita tentang “Pernyataan Cikini” menolak pembangunan hotel bintang lima serta beberapa kebijakan terkait apa yang disebut sebagai revitalisasi Taman Ismail Marzuki.

Menolak
Pernyataan Cikini yang ditandatangani para seniman dan seniwati Taman Ismail Marzuki yang hadiri pada pertemuan 20 November 2019 di ruang PDS HB Jassin dengan tegas menolak:
1) Pelibatan Jakpro dalam mengurus atau mengembangkan seluruh fasilitas/isi kompleks Taman Ismail Marzuki.
2) Jika revitalisasi dalam bentuk apapun tidak melibatkan secara langsung pendapat dan atau kerja para seniman dan seniwati yang ada di dalamnya.
3) Upaya pembangunan dalam ruang kebudayaan yang luas, termasuk membangun manusia unggul, tanpa pemahaman komprehensif dan sosialisasi di kalangan yang adekuat makna kebudayaan yang sebenarnya.

Polemik Sosial
Ternyata yang rawan memicu polemik sosial akibat pembangunan bukan cuma reklamasi tetapi juga revitalisasi. Revitalisasi TIM terbukti menimbulkan polemik antara Pemprov DKI Jakarta dengan para seniman.

Berdasar penelitian Pusat Studi Kelirumologi terhadap polemik sosial akibat pembangunan dapat disimpulkan bahwa Polemik sosial potensial terjadi pada kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah tanpa melibatkan rakyat yang kepentingannya secara langsung maupun tidak langsung terpengaruh secara negatif oleh kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah.

Besar kemungkinan bahwa kebijakan revitalisasi TIM yang menurut pemerintah DKI Jakarta jelas bertujuan positif dan konstruktif, pada kenyataan dilakukan tanpa melibatkan pihak yang paling berkepentingan yaitu para seniman.

Andaikata sejak tahap perencanaan Pemprov DKI Jakarta sudah melibatkan para seniman maka dapat diharapkan tidak akan ada polemik apalagi konflik tertimbulkan. Misalnya pembangunan hotel bintang lima yang memang rawan ditafsirkan sebagai lambang kapitalisme plus konsumtifisme, maka terkesan tidak merakyat bahkan tanpa relevansi dengan kesenian sebenarnya masih bisa saja ditinjau kembali. Alih-alih hotel bintang lima mungkin lebih adekuat makna kebudayaan yang sebenarnya apabila revitalisasi TIM menghadirkan sebuah wisma untuk bermalam para seniman yang akan mempergelar karyanya di TIM.

Bubur
Mungkin  nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Namun jangan lupa bahwa meski nasi sudah menjadi bubur seharusnya masih bisa diupayakan sang bubur diolah menjadi hidangan tak kalah lezat ketimbang sang nasi. Aneka ragam kreasi mengolah nasi yang terlanjur sudah menjadi bubur semisal bubur semisal bubur ayam, bubur udang, bubur tahu, bubur tiram, bubur sayuran dan lain sebagainya seolah tak kenal batasannya.

Maka, sebenarnya Gubernur DKI Jakarta masih memiliki kesempatan menyelenggarakan pertemuan ramah-tamah demi musyawarah-mufakat bersama para seniman dan seniwati TIM mencari solusi terbaik bagi permasalahan terkait revitalisasi TIM.

Alih-alih saling bertengkar apalagi bermusuhan, lebih asyik sambil lebih produktif dan konstruktif saling bahu-membahu bergotong-royong menatalaksanakan revitalisasi TIM sehingga benar-benar dapat berfungsi vital sebagai kawasan kesenian Ibu Kota Indonesia yang layak menjadi kebanggaan bangsa, negara dan rakyat Indonesia.

Merdeka! (*)

* Penulis adalah pembelajar kebudayaan dan peradaban.