Jakarta

Oleh: Anies Rasyid Baswedan

MALAM menjelang Idul Fitri, takbir dikumandangkan, genderang ditabuh. Ribuan orang tumpah ruah menggemakan takbir di berbagai pelosok ibukota. Beberapa dari mereka menunjukkan emosi karena mereka bisa kembali membunyikan takbir di ruang terbuka menjelang hari berkah.

Emosi gembira itu bukan tanpa alasan. Tradisi takbir keliling telah dilarang beberapa tahun sebelumnya. Tidak terpikirkan oleh masyarakat ketika di kampung halamannya di seluruh Indonesia diperbolehkan menggunakan obor di sekitar jalan sambil menggemakan takbir, tetapi di ibukota mereka tidak diperbolehkan untuk melanjutkan tradisi ini.

Pada masa pra-pandemi, sikap Jakarta jelas, kegiatan takbiran boleh dilakukan dengan tertib. Lebih dari sekedar meneruskan tradisi, ini merupakan pesan bahwa umat Islam berhak merayakan malam kemenangan yang telah lama dinanti.

Beberapa bulan setelah tur takbir, masih dalam masa pra-pandemi dan untuk pertama kalinya, jalan-jalan utama ibukota dipenuhi dengan paduan suara menyanyikan lagu-lagu Natal. Sejumlah komunitas musik dan paduan suara mahasiswa menyenandungkan lagu-lagu Natal. Di Thamrin Road, berdiri pohon natal raksasa dengan dominasi warna merah.

Kisah lain datang dari saudara-saudara kita yang beragama Hindu. Sejak kemerdekaan Indonesia, umat Hindu Bali di ibukota tidak memiliki fasilitas kremasi untuk almarhum. Faktanya, umat Hindu Tamil juga tidak memiliki kuil untuk pemujaan. Syukurlah, kini semua fasilitas yang dibutuhkan sudah terwujud. DKI Jakarta juga satu-satunya provinsi yang mengakui Deepavali sebagai hari libur fakultatif bagi umat Hindu.

Upaya lain yang berbasis kesetaraan adalah pemberian Program Bantuan Operasional Tempat Ibadah (BOTI) untuk semua agama. Melalui BOTI, setiap umat beragama mampu berkolaborasi membangun sarana ibadah dan menggerakkan umatnya. Ini adalah perwujudan dari gagasan bahwa modal milik semua, inklusif, dengan pola interaksi kolaboratif.

Kebijakan dan langkah-langkah yang diterapkan di Jakarta didasarkan pada ide sederhana: Jakarta harus menjadi rumah pemersatu, bagi semua umat beragama, tanpa kecuali. Bukan perbedaan asal usul orang yang dipersatukan, melainkan kita menyatukan tujuan kita.

Ketika ruang publik di Jakarta diramaikan dengan berbagai interaksi antar umat beragama, rasa kesetaraan dan kebersamaan akan terus tumbuh. Inisiatif tersebut merupakan bagian dari upaya untuk menciptakan kesetaraan dan kebersamaan bagi setiap umat beragama di ibukota. Jelas, tujuannya bukan untuk mencampuradukkan agama yang berbeda. Sebaliknya, tujuannya adalah untuk membangun interaksi di antara warga yang berbeda keyakinan dan untuk menumbuhkan rasa hormat di antara mereka. Sekali lagi, kita dipersatukan oleh tujuan, bukan asal-usul.

Seringkali ada salah persepsi tentang persatuan bahwa kesatuan adalah hal yang diberikan dan final, diterima begitu saja. Ini bukan kasusnya. Persatuan adalah perjuangan terus menerus yang didukung oleh kebijakan yang memanusiakan warganya. Dasar untuk membangun persatuan adalah kebijakan kesetaraan dan keadilan, bukan sentimen emosional belaka.

Berbagai inisiatif kebijakan ini harus dilihat tidak hanya untuk memfasilitasi hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya, tetapi juga hubungan horizontal antar warga yang berbeda keyakinan.

Ketika fasilitas kremasi bagi umat Hindu diaktifkan sepenuhnya, mereka yang kurang beruntung dapat diberikan layanan kremasi dengan biaya yang jauh lebih murah. Fasilitas tersebut menjelma menjadi pernyataan kehadiran Negara bagi warganya.

Masjid yang telah direnovasi total tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Selama pandemi, tak terhitung banyaknya masjid, gereja, vihara, atau vihara menjadi pusat informasi dan vaksinasi.

Saat mengunjungi Gereja Bethel Indonesia, ada satu pesan yang mereka ingin agar selalu diingat oleh jemaatnya. Pesannya sederhana: tidak seorang pun di sekitar gereja, apa pun agamanya, harus merasa kehilangan.

Dengan kebijakan yang adil dan berkeadilan, tempat ibadah dan umat beragama tidak hanya menjadi pusat kegiatan keagamaan, tetapi juga menjadi penggerak sosial, ekonomi, dan budaya.

Sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, perlu dihubungkan dengan sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tanpa keadilan sosial, persatuan tidak mungkin terjadi.

Upaya Bersama Mewujudkan Persatuan
Kita perlu menyadari bahwa keragaman adalah kondisi tertentu, takdir ilahi. Keberagaman adalah fakta, tetapi persatuan adalah pilihan. Keberagaman adalah ciptaan Tuhan yang patut kita syukuri, namun persatuan adalah hasil jerih payah manusia yang harus dijaga dan dikuatkan.

Sayangnya, kita sering “melebih-lebihkan keragaman pemberian Tuhan”, sementara secara bersamaan “meremehkan kesatuan”. Mengagungkan keragaman, tetapi justru meremehkan persatuan yang merupakan hasil karya manusia. Kesatuan seharusnya tidak lagi dilihat dalam perspektif normatif.

Sudah saatnya kita menyadari bahwa warga tidak serta merta bersatu tanpa upaya deliberatif. Persatuan membutuhkan prasyarat yang sulit: Persatuan berasal dari rasa keadilan.

Merayakan hari besar keagamaan di ruang publik, bekerja sama dengan berbagai umat beragama, memberikan program bantuan untuk rumah ibadah atau fasilitas keagamaan, dan berbagai inisiatif lain untuk memberikan kedudukan yang setara kepada minoritas adalah contoh upaya mewujudkan keadilan sosial, untuk menyalakan persatuan di setiap sudut ibukota.

Jakarta adalah ruang interaksi seluruh elemen bangsa ini. Kami bersatu di Jakarta karena tujuan kami bersama. Bukan asal usul kita yang menyatukan kita, itu adalah tujuan kita. Orang-orang di seluruh negeri datang ke kota ini dengan tujuan yang sama untuk mendapatkan kemerdekaan sejati: keadilan sosial dan kemakmuran.

Oleh karena itu, kesetaraan kesempatan bagi semua adalah cara untuk membangun dan memperkuat persatuan. Kesetaraan disediakan untuk semua, dan masing-masing dapat hidup sesuai dengan keyakinan mereka. Ini adalah upaya berkelanjutan untuk menjadikan Jakarta rumah pemersatu bagi semua. (*)

* Gubernur DKI Jakarta.
** Tulisan kedua dari tiga artikel.