Kastara.ID, Jakarta — Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau yang dihuni lebih dari 360 suku bangsa. Namun, walau sudah 77 tahun merdeka, belum mempunyai sebuah undang-undang yang khusus melindungi, mengatur, dan memastikan detak kemajuan terjadi di daerah kepulauan yang merupakan beranda terdepan negeri ini.

Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, terhitung sudah 18 tahun atau sejak 2004, RUU Daerah Kepulauan diperjuangkan. Namun hingga kini belum juga dibahas dan disahkan terutama oleh Pemerintah dan DPR. Oleh karena itu, RUU Daerah Kepulauan yang saat ini diperjuangkan kembali oleh DPD RI dan berhasil masuk dalam Prolegnas Prioritas, sangat mendesak untuk dibahas dan disahkan.

“DPD RI memahami betapa sulitnya membangun kesejahteraan di daerah kepulauan. Terlebih di Provinsi seperti Kepulauan Riau yang memiliki lebih dari 2.408 pulau dengan 22 pulau yang wilayahnya terluar dan berbatasan langsung dengan negara tetangga. Ini artinya, membangun pulau-pulau yang berbatasan dengan negara lain itu, tak sekadar menyiapkan infrastruktur saja. Hal yang lebih penting adalah menjaga kedaulatan negara. Inilah salah satu yang membuat kenapa kehadiran Undang-Undang Daerah Kepulauan sangat mendesak. Jangan sampai ketiadaan undang-undang yang khusus mengatur daerah kepulauan menjadi ironi tersendiri bagi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia,” ujar Fahira Idris di sela kunjungan kerja Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI di Graha Kepri, Batam (30/3). Hadir juga dalam kunjungan kerja ini, Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad.

Menurut Fahira, setidaknya terdapat lima substansi penting RUU Daerah Kepulauan yang patut menjadi perhatian. Pertama, penguatan agar RUU Daerah Kepulauan mampu menjadi dasar kebijakan dan proses pembangunan bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan, sosbud, dan polhukam. RUU ini. lanjut Fahira, harus mampu memberikan sentuhan berbeda atau perhatian khusus untuk meningkatkan semua sektor kehidupan masyarakat di daerah kepulauan, terutama yang tinggal di pulau-pulau kecil, terpencil, dan terluar.

Kedua, RUU Daerah Kepulauan harus diibaratkan sebagai undang-undang khusus (lex specialis) yang mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Sehingga undang-undang khusus ini dibutuhkan untuk mengatasi konflik antara undang-undang yang lebih luas pengaturannya dengan undang-undang yang lebih sempit substansinya. Ketiga, perlu dipastikan bahwa RUU Daerah Kepulauan bukan soal otonomi khusus. Ini penting, agar RUU ini tidak menimbulkan drama atas isu desentralisasi dan bukan untuk kepentingan sesaat. Keempat, RUU ini bertujuan untuk memastikan kesiapan pemerintah daerah dalam hal kemampuan mengelola wilayah kepulauan berdasarkan parameter yang dirumuskan bersama-sama.

“Poin penting terakhir, memastikan RUU ini mengamanatkan agar alokasi transfer anggaran ke daerah tidak lagi mengacu pada jumlah penduduk dan luas daratan, melainkan berdasarkan proporsionalitas kebutuhan pembangunan yang adil guna mengentaskan kemiskinan penduduk di daerah kepulauan. Kita semua perlu meyakinkan Pemerintah bahwa RUU ini tidak membebani pemerintah, justru malah bukti negara hadir sampai ke daerah kepulauan,” pungkas Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta ini. (dwi)