Natuna

Kastara.ID, Jakarta – Konflik Natuna, Indonesia dinilai perlu tambah alat pemantau udara (airborne surveillance system) untuk mendeteksi pelanggaran yang terjadi di wilayah perairan terluar, termasuk di perairan Natuna yang belakangan diterobos puluhan kapal pencari ikan China.

Pendiri dan CEO Indonesian Ocean Justice Initiative Mas Achmad Santosa mengatakan bahwa saat ini jumlah airborne surveillance yang dimiliki Indonesia masih terbatas. Sebab Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari perairan. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Indonesia memiliki 3,25 juta kilometer lautan dan 2,55 juta kilometer zona ekonomi eksklusif (ZEE).

“Ada juga keterbatasan hari operasi patroli. Ini terkait besar kecilnya anggaran yang dimiliki masing-masing lembaga penegak hukum kelautan,” katanya.

Pengamanan laut Indonesia kembali menjadi sorotan belakangan ini setelah gagal mengusir puluhan kapal ikan China yang menerobos masuk dan menangkap ikan di ZEE Indonesia di sekitar Natuna sejak 10 Desember lalu.

Badan Keamanan Laut (Bakamla RI) dan kapal TNI Angkatan Laut sempat memerintahkan puluhan kapal yang dikawal coast guard China untuk keluar dari ZEE Indonesia. Kendati sempat menjauh, kapal-kapal tersebut kembali memasuki perairan Indonesia.

Terkait konflik Natuna, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menuturkan, pemerintah Indonesia perlu melakukan diplomasi jalur belakang (backdoor diplomacy) untuk berhadapan dengan Tiongkok soal Natuna ini.

Selain itu, Hikmahanto juga menyatakan bahwa Indonesia perlu memberdayakan dan memperbanyak nelayan Indonesia untuk berlayar serta memancing di ZEE di sekitar Natuna. Hikmahanto khawatir akan muncul sentimen anti-China yang lebih besar lagi jika pemerintah tak dapat membendung kemarahan dan kekhawatiran publik soal kedaulatan di Natuna. (ant)