Jamiluddin Ritonga

Kastara.ID, Jakarta – Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta M Jamiluddin Ritonga menyoroti langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka izin investasi untuk industri minuman keras (miras) di Bali, NTT, Sulawesi Utara, dan Papua yang justru mendapat penolakan meluas dari berbagai pihak.

Menurut pria yang kerap disapa Jamil ini, penolakan itu tidak hanya dari kalangan Islam, seperti Ormas Islam dan MUI. Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid bahkan menilai Perpres Miras bertentangan dengan Pancasila.

“Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) juga tegas menolak kebijakan Jokowi tersebut. Bahkan MRP mengaku tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan Perpres Nomor 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal,” papar Jamil (1/3).

Jamil pun melihat bahwa penolakan dari berbagai elemen masyarakat mencerminkan Perpres Nomor 10 tahun 2021 tidak aspiratif.

“Hal itu juga terlihat dari pengakuan pihak MRP yang merasa tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan Perpres tersebut. Hal ini menguatkan dugaan, Perpres ini disusun tidak melibatkan pemangku kepentingan,” ungkap penulis buku Tipologi Pesan Persuasif ini.

Padahal, dalam negara demokrasi, semestinya setiap penyusunan regulasi melibatkan rakyat. Pengajar mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi ini melihat bahwa pelibatan rakyat merupakan perwujudan prinsip demokrasi dari rakyat untuk rakyat.

“Kalau Perpres disusun tanpa pelibatan rakyat, maka prinsip demokrasi sudah diingkari. Hal ini tentu berbahaya bagi kelangsungan demokrasi di tanah air,” tandas mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1986-1999 ini.

Karena Perpres tersebut sangat tidak aspiratif, maka pemerintah seyogyanya berlapang dada mencabutnya. “Itu kalau pemerintah ini masih mengakui rakyat sebagai pemilik kedaulatan di Indonesia,” pungkasnya. (jie)