Oleh: Muhammad AS Hikam

Gelar aksi demo yang diberi nama “Super Damai” di kawasan Monas pada Jumat, 2 Desember 2016, barangkali layak disebut sebagai sebuah babak baru dalam konstelasi perpolitikan Indonesia pasca-reformasi. Yaitu munculnya Habib Rizieq Shihab sebagai representasi kekuatan Islam politik yang fenomenal dan harus diperhitungkan secara serius oleh Pemerintah Presiden Jokowi dan masyarakat Indonesia, serta pihak-pihak di luar negeri ini. Kehadiran Presiden Jokowi dalam acara tersebut, mengikuti shalat Jumat, mendengarkan khotbah Habib Rizieq Shihab yang sangat jelas menyampaikan tausiah/pesan-pesan politik kepada Presiden Jokowi, pidato singkat sang Presiden di panggung bersama Habib Rizieq Shihab dan para petinggi kabinet, dan, last but not the least, konsistensi tuntutan agar Ahok ditangkap, dan kesuksesan acara sampai selesai tanpa ada kericuhan sedikitpun, semuanya merupakan fakta-fakta yg dapat ditafsirkan bahwa Habib Rizieq Syihab-lah yang menjadi tokoh utama alias “man of the hour” dalam event tersebut.

Bukan hanya itu saja. Pasca-212, suka atau tidak suka, Habib Rizieq Shihab adalah pemimpin yang tak dapat diragukan lagi (undisputed leader) dari kekuatan Islam politik Indonesia, dan Presiden Jokowi adalah salah satu pihak yang ikut mengukuhkan posisi tersebut! Para perjabat negara boleh dan sah-sah saja mengatakan bahwa Presiden Jokowi sudah menunjukkan kepemimpinannya dengan tampil di dalam acara tersebut. Bahkan ada yang bilang Presiden Jokowi telah menang tanpa harus mengalahkan (menang tanpo ngasorake) lawan, dan lain-lain pujian seperti itu. Namun secara politis, hemat saya, Presiden Jokowi menang hanya secara taktis, tetapi Habib Rizieq Shihab-lah yang mendapat keuntungan secara strategis. Jika Presiden Jokowi bisa disebut meraih keuntungan politik dalam jangka pendek, tetapi pengaruh Habib Rizieq Shihab dan Islam politik di negeri bisa saja akan meluas dalam jangka panjang.

Implikasi politik jangka pendek yang paling nyata adalah terhadap kasus Ahok akan bergulir. Prediksi saya, tekanan dari kelompok anti-Ahok akan makin besar bukan saja agar Gubernur DKI non-aktif tersebut ditahan, tetapi juga sampai ujung proses dengan vonis dinyatakan sebagai pihak yang bersalah. Kehadiran Presiden Jokowi di Monas akan dikapitalisasi secara politik oleh kubu ini untuk terus meningkatkan tekanan agar “hukum ditegakkan” dan “keadilan dijunjung tinggi” dalam proses peradilan yang akan datang. Pengaruhnya terhadap kampanye Pilkada pasangan Ahok-Djarot (Badja), tampaknya akan semakin negatif dan merugikan pemulihan elektabilitasnya. Jika survei-survei yang dilakukan sebelum 212 saja hasilnya sudah cenderung “sepakat” bahwa elektabilitas Badja mengalami penurunan akibat status tersangka Ahok, apalagi setelah ini. Pihak anti-Ahok akan semakin agressif dalam kampanye mereka untuk memarjinalisasi sang petahana. Paslon Badja mesti kerja “super keras” agar tidak mengalami penurunan drastis lebih lanjut!

Diamnya parpol-parpol pendukung Badja pasca kehadiran Presiden Jokowi ke Monas, bagi saya, adalah juga pertanda kurang baik bagi paslon ini. Elite PDIP, Nasdem, dan Hanura seperti sedang “kebingungan” dan akhirnya memilih “diam” dengan keputusan Pressiden Jokowi yang konon dibuat mendadak untuk bergabung dalam acara di Monas tersebut. Demikian pula respon senyap dari tim sukses Badja terkait dengan dinamika politik seperti itu menunjukkan bahwa mereka pun mengalami semacam kekagetan yang serius. Ini berbanding terbalik dengan persistensi kelompok anti-Ahok dalam kampanye mereka sangat nyata, seperti kita lihat dalam bermunculannya meme-meme baru di sosmed yang bertema desakan agar Ahok ditahan. Upaya pemulihan elektabilitas paslon Badja jelas semakin dipersulit oleh keputusan Presiden Jokowi hadir di Monas tersebut. Setidaknya peluru baru bagi kampanye lawan bertambah lagi, sementara paslon Badja tidak siap dengan counter-nya.

Bukan hanya pihak paslon Badja saja yang terimbas implikasi politik dari langkah Presiden Jokowi kemarin. Hemat saya, ormas-ormas besar Islam yang selama ini berusaha membantu Presiden Jokowi agar eskalasi demo dapat dibatasi, bisa jadi juga sama kagetnya. Sampai sehari setelah demo 212 berakhir, saya belum menemukan reaksi resmi dari NU dan Muhammadiyah, atau tokoh-tokoh Islam terkemuka yang sebelumnya ikut mengerem ummat agar tidak berpartisipasi di dalam gelar aksi tersebut. Ini tentu sangat menarik untuk dicermati. Bisa jadi mereka pun sedang berusaha memahami dan mencermati dinamika ini. Setidaknya mereka mesti mengevaluasi untuk apa anjuran-anjuran mereka kepada ummat agar tidak ikut hadir dalam aksi 212 jika kemudian Presiden Jokowi sendiri justru hadir di sana? Bukankah ini merupakan sebuah pengakuan dan endorsement politik terhadap keberadaan Habib Rizieq Shihab dan para pendukungnya sebagai sebuah kekuatan nyata dalam konstelasi perpolitikan nasional? Wallahua’lam..

Sebuah fenomena politik baru pasca-reformasi di Indonesia sedang bergulir, yakni muncul dan berkembangnya kekuatan Islam politik dalam panggung demokrasi, bukan melalui pintu politik elektoral (electoral politics), tetapi melalui pintu politik massa (mass politics). Apakah PJ menyadari sepenuhnya bahwa kini kepemimpinan Habib Rizieq Shihab dan Islam politik kian mantap kehadiran dan pengaruhnya dalam panggung perpolitikan negeri ini? Silakan para sahabat untuk memperbincangkannya. (*)