Debat Capres(Reuters)

Kastara.ID, Jakarta – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyampaikan sembilan persoalan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK yang rentan akan melumpuhkan kerja KPK dalam melaksanakan pemberantasan korupsi.

Sidang Paripurna DPR yang menyetujui revisi Undang Undang KPK menjadi RUU insiatif DPR (5/9).

Sembilan poin yang dinilai akan melemahkan KPK dalam melaksanakan tupoksinya adalah sebagai berikut:

1. Independensi KPK Terancam. Hal ini terjadi lantaran dalam RUU baru justru menjadikan KPK sebagai lembaga pemerintah pusat. Sebagai lembaga pemerintah pusat, pegawai KPK dimasukkan dalam kategori ASN sehingga hal ini akan beresiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan.

2. Penyadapan harus melalui persetujuan Dewan Pengawas. Penyadapan kini dipersulit dan dibatasi draf revisi UU KPK menyatakan, penyadapan yang dilakukan KPK.

3. Dewan Pengawas KPK dipilih oleh DPR. Pembentukan Dewan Pengawas KPK yang dipilih oleh DPR memperbesar kekuasaan DPR yang nantinya tidak hanya akan memilih pimpinan KPK. Sementara sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus izin Dewan Pengawas, seperti: penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

4. Penyelidik KPK hanya berasal dari Polri, sedangkan Penyidik KPK berasal dari Polri dan PPNS. Keputusan ini justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bagi KPK dapat mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri.

5. Independensi KPK direnggut sebab dalam penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung. Hal ini beresiko mereduksi independensi KPK dalam menangani perkara. Agus melanjutkan, aturan ini juga akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara.

6. Pasal 11 huruf b UU KPK, yaitu mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat, tidak lagi tercantum. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria pemberantasan korupsi dilakukan karena korupsi merugikan dan meresahkan masyarakat.

7. Kewenangan Pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas. Aturan ini membuat KPK hanya bisa mengambilalih perkara yang sedang dalam proses penyelidikan. Padahal, dalam aturan yang berlaku saat ini, bisa mengambil alih penuntutan sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 UU KPK.

8. Kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan. Kewenangan itu yakni pelarangan ke luar negeri, meminta keterangan perbankan, menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi, serta meminta bantuan Polri dan Interpol.

9. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas. Dalam draf revisi UU KPK, pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara dilakukan di masing-masing instansi. Hal ini akan mempersulit melihat data kepatuhan pelaporan dan kewajaran kekayaan penyelenggara negara.

DPR mempertimbangkan kembali wacana revisi UU KPK yang dinilai akan melemahkan KPK. KPK menyadari DPR memiliki wewenang untuk menyusun RUU inisiatif dari DPR. Akan tetapi, KPK meminta DPR tidak menggunakan wewenang tersebut untuk melemahkan dan melumpuhkan KPK. (rya)